Bagian 7

91 10 2
                                    

Aku berdiri hendak menggebrak meja, tidak terima dengan kata-katanya. Beruntung aku masih bisa menguasai diri. Kupejamkan mataku lama, rasanya tak ingin kubuka supaya tak merasakan lagi perih.

Oh Tuhan. Baru saja semua berjalan indah, kini semuanya kembali lagi seperti biasanya.

"Mah...." Suara memelas Nabhan memaksaku untuk kembali duduk.

"Maafkan Mamah, Sayang."

"Baiklah. Gus Nabhan boleh menerimanya dengan syarat tidak boleh dipakai main game." Gus Sami akhirnya mengalah.

"Terimakasih, Pah." Mata Nabhan kembali berbinar.

Aku menghabiskan es krim-ku seperti orang kesetanan. Itulah caraku menyalurkan energi negatif yang muncul akibat kemarahanku.

Rasanya aku ingin kembali ke hotel saja, tetapi rinduku pada Nabhan akhirnya mengalahkan egoku. Aku tidak peduli dengan sikap Gus Sami, yang terpenting bagiku bisa menghabiskan waktuku bersama Nabhan sebanyak yang aku bisa.

Malam ini seperti kemarin malam, aku tidur bersama Nabhan di kamarnya. Bedanya, kemarin malam Nabhan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur karena beberapa malam sebelumnya ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Malam ini kami lebih banyak menghabiskan malam dengan bercengkrama.

Pikirku, inilah kesempatanku untuk membujuknya ikut denganku. Tahun ini ia akan melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama. "Kakak sekolah dekat rumah Mamah aja. Di sana ada Madrasah bagus. Kakak bisa setoran hafalan pada teman Mamah setiap habis Subuh. Rumahnya satu kompleks perumahan dengan rumah Mamah."

"Nabhan tidak harus tinggal di pesantren?" tanyanya girang. Aku mengangguk, "Ya. Kakak nanti bisa ngaji kitab kuning model ngalong tiap habis Ashar sampai Isya di tempat teman Mamah juga. Nanti Mamah yang antar jemput."

"Nabhan mau. Tapi bagaimana dengan Papah? Nanti siapa yang jaga Papah?" Aku tersenyum mendengarnya. Selama ini bukan Nabhan yang jaga Papah, tapi Papah lah yang menjagamu, batinku.

"Papah laki-laki dewasa. Ia bisa jaga diri. Lagian, sekarang 'kan udah ada dokter Nisa yang akan jagain Papah." Kenapa bisa mulutku menyebut-nyebut nama dokter Nisa. Haduh, jangan-jangan aku cemburu? Oh, tidak. Bukan karena cemburu, tapi itu hasil bacaanku atas sikap Gus Sami dan kedekatan mereka. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan Gus Sami. Ia sudah tidak terhubung dengan hidupku kecuali karena Nabhan.

Malam ini kupeluk Nabhan erat sambil menautkan tangan kami. Tak bosan kuciumi pipinya yang gembul. Sampai-sampai ia protes karena merasa geli.

***
Aku sudah bersiap kembali ke hotel meskipun masih sangat pagi. Aku berniat sarapan dan mandi di hotel saja seperti biasa. Rasanya lebih nyaman seperti itu.

Aku dan Nabhan berniat mencari Umi di dapur untuk berpamitan. Biasanya, sepagi ini Umi mendampingi Mbak-mbak santri Dalem membuat sarapan di dapur. Tetapi ternyata Umi sudah menungguku di ruang tengah.

"Gus Sami tadi berpesan supaya Ning Richa ke hotelnya diantar Kang Din. Gus Sami harus keluar kota, jadi tidak bisa mengantar."

"Richa naik ojek saja, Mi."

"Gus Sami tadi juga pesan sama Umi, jangan sampai kamu naik ojek."

Kalau sudah seperti ini aku tidak bisa lagi menolak. Gus Sami bisa marah pada Umi jika aku tetap berkeras hati. Aku tidak masalah jika ia marah padaku, tapi aku tidak bisa membiarkan ia marah pada Uminya meskipun hubunganku dengan Umi tidak begitu baik di masa lalu. Aku selalu diajarkan untuk tidak menyimpan dendam karena itu akan merusak diriku sendiri.

Sikap Umi yang jauh berbeda dengan sikapnya waktu aku masih menjadi menantunya membuatku lebih berempati dan sedikit mengurangi rasa canggungku.

"Baiklah, Mi. Kang Din sekarang di mana?"

GUS MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang