"Kamu di Jogja sampai kapan?" tanya Sakta di ujung sana.
"Ini sudah bersiap untuk pulang," jawabku. Aku melambaikan tangan pada beberapa teman yang berderap mulai meninggalkan lobi hotel.
"Bareng aku aja, tunggu ya." Tanpa basa basi ia telah memutuskan percakapan kami. Ia hanya tanya kapan pulang, lalu bilang tunggu tanpa menanyakan yang lain. Seolah tahu aku sekarang sedang di mana. Kebiasaan, gerutuku.
Sepersekian detik kemudian aku tersenyum sendiri mengingat jika medsos sekarang bisa bikin orang-orang tiba-tiba seolah menjadi cenayang, contohnya Sakta. Aku yakin ia memperkirakan aku sekarang di mana dari hasil stalking medsosku. Mengingat soal medsos membuat dadaku sesak. Gara-gara seorang teman upload foto kegiatan kami dengan men-tag akunku membuat istri Mas Riko salah paham. Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang.
"Sedang merapal mantra ilmu halimunan, Bund?" Suara Sakta membuat mataku terbuka seketika.
"Cepat banget sampainya? Perasaan teleponmu baru mati, kok udah sampai sini?" Sakta tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi dengan lesung pipit di pipi kirinya. Penampilannya masih sama. Rambut gondrong terkucir rapi, kaos dibungkus cardigan coklat kopi susu, celana jeans, dan sepatu Sneakers.
"Khawatir kamu digondol Riko," kekehnya. Aku menyapukan tanganku ke udara di depan mukanya. "Mas Riko lama banget, nggak turun-turun. Apa kita pamit ke kamarnya aja?"
Akhirnya kami pamit pulang dulu pada Mas Riko. Ada raut penyesalan dan ketidaknyamanan yang terpancar dari wajah Mas Riko. "Maafkan istriku, Ri." Aku mengangguk tulus. Istrinya hanya khilaf. Semua orang bisa saja bersikap sama ketika melihat foto-foto yang diunggah temanku di beranda medsosnya itu. Salah satu bahaya foto memang seperti itu, semua orang bebas menterjemahkan sesuai pikiran masing-masing berdasarkan visualisasi yang tampak.
Sepanjang perjalanan Sakta kuinterogasi. Kemana saja ia selama ini, yang tiba-tiba menghilang dan sekarang tiba-tiba muncul.
"Aku sedang mengurus proyek di Jogja. Hampir setahun baru selesai."
"Tapi kenapa tidak mengabariku?" protesku.
"Kamu terlalu sibuk sama Bagas. Makanya kamu tidak sempat membaca dan membalas pesanku. Aku sudah pamit, tapi tidak ada balasan apapun dari kamu." Keningku mengernyit mencoba mengingat kapan terakhir ia mengirim pesan WA.
Aku mulai membuka kunci ponsel dan mengetikkan nama Sakta di kolom search. "Nggak ada. Kamu nggak pernah mengabari apapun tentang proyek Jogja." Ia mengalihkan pandangan matanya dalam beberapa detik ke arahku dan tersenyum. "Paling udah disabotase pacarmu. Si Bagas yang over posesif itu." Aku melotot tidak terima dengan ucapannya. Ia hanya melirik sekilas lalu terkekeh. "Kamu masih aja membelanya? Sungguh tidak bisa kupercaya." Ia menggelengkan kepala dan kembali terkekeh mengejekku. Kutinju bahu kirinya dengan kesal.
Mobil berbelok ke arah kiri, masuk ke sebuah cafe yang cukup terkenal karena tempatnya yang nyaman dan menu makanannya yang enak. "Kita istirahat dulu di sini, sekalian sholat Maghrib." Matanya nanar mencari tempat parkir yang kosong, lalu seorang petugas parkir membimbing mobilnya mendapatkan tempat parkir.
Mobil baru saja diparkir dengan manis, tiba-tiba ponselnya berdering. "Ya, Gus. Ini kami makan dulu sekalian sholat Maghrib." Aku mengernyit mendengar suara lamat-lamat di seberang teleponnya. Suara itu mirip sekali dengan suara Gus Sami.
Aku menarik napas dalam. Mengetuk kepalaku dan tersenyum bodoh. Bisa-bisanya otakku menerjemahkan suara lamat-lamat yang kudengar itu seperti suara Gus Sami.
"Proyek yang di Kudus segera aku mulai, Gus. Jangan khawatir, kalau melihat Feasibilty Study-nya sih bagus. Investasimu pasti segera mencapai BEP. Tapi aku minta investasimu yang satunya lagi segera ambil kalau nggak mau kehilangan." Sakta menoleh ke arahku. "Lama-lama aku bisa tergoda juga." Sedetik kemudian ia tertawa, begitu juga dengan orang yang diujung teleponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUS MANTAN
RomanceBagaimana jika kehidupan rumah tangga dibayangi oleh campur tangan mertua yang sejak awal sudah tidak berkenan menerima perempuan itu menjadi menantunya? Hancur, pastinya. Apalagi jika sang Anak selalu patuh pada ibunya sedangkan sang menantu memili...