Mendadak mobil berhenti. Gus Sami memutar paksa badanku mengarahkan pandanganku padanya. Ia melotot ke arahku. Namun aku sudah tak peduli sebesar apapun kemarahannya atas ucapanku.
Ia menatapku cukup lama. Entah apa yang dicari di manik mataku. Perlahan cengkeraman di pundakku mengendur, ia menghembuskan nafas kasar. Ia kemudian kembali menatap ke depan dan mengemudikan mobilnya.
Tidak ada pembicaraan selama perjalanan kami. Sampai saat mobil berhenti di depan sebuah warung steak. Astaghfirullah. Ya Allah. Mengapa harus ke sini? Niat apa sih, Gus? Aku membeku di tempatku.
"Di sini biasa buka sampai jam dua belas," katanya sambil menarik tuas handrem.
"Wah, tumben ngajak perempuan cantik. Biasanya sendirian aja, Bang?" sapa tukang parkir yang sepertinya sudah sangat mengenalnya.
"Ya, ini ada teman lama. Dia lagi ada acara di sini, jadi sekalian reunian."
Ini tidak sekedar reunian. Ini pembantaian hati, Gus!
"Ayo, Cha. Masih suka steak 'kan?"
"Ya," jawabku singkat. Padahal sejak perceraianku dengannya, hal-hal yang mengingatkanku pada kebersamaan kami selalu kuhindari, termasuk makan steak. Jadi selama tujuh tahun, aku tak pernah mau menyentuh steak karena makanan itu akan mengingatkanku pada pertemuan pertama kami, mengingatkan pada celebration yang sering kami buat waktu itu. Tapi malam ini aku tidak mungkin menolak makan di sini dengan alasan-alasan itu. Gus Sami pasti akan menertawaiku.
Dengan berat hati aku mengikuti langkah-langkah panjang Gus Sami.
"Tempat yang biasa kosong apa isi?" tanyanya pada seseorang yang berdiri di dekat meja order.
"Kosong."
Gus Sami menepuk pundak laki-laki itu, "Biasa, dua." Pelayan itu memberikan isyarat oke melalui tangannya. Gus Sami langsung meninggalkan laki-laki itu dan berjalan ke lantai dua.
"Enggak nulis pesanan dulu?"
"Mereka sudah hafal menu kesukaanku." Aku hanya bisa mengerutkan dahi. Apa itu maksud dari kalimatnya 'Biasa, dua'? Bagaimana dengan pesananku? Gus Sami selalu saja sesuka hatinya.
Gus Sami mengambil tempat duduk lesehan di ujung tembok sebelah kanan berdekatan dengan taman. Lagi, langkahku terhenti. Tempat duduk yang ia pilih adalah tempat pertama kali kami bertemu. Saksi bisu tertawannya hatiku pada senyuman dan wajah gantengnya. Ingin rasanya aku membalikkan tubuh dan berlari keluar. Lagi-lagi itu tidak mungkin kulakukan jika tidak ingin ditertawakan olehnya.
Aku menarik nafas panjang, dan mengeluarkannya perlahan melalui mulut. Tuhan, kuatkan hatiku. Aku mengambil tempat duduk di seberang mejanya.
Kembali hening. Gus Sami mulai sibuk dengan ponselnya. Kadang tersenyum sendiri, lalu mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, sudah tidak banyak pengunjung. Hanya beberapa pasangan muda mudi yang masih asyik bercengkrama. Aku kembali memperhatikan Gus Sami, ia masih sibuk dengan ponselnya.
Beruntung seorang pelayan segera datang dengan membawa dua botol soda plain dan dua gelas berisi es batu, susu putih, dan sirup. Tidak berapa lama, seorang pelayan lagi datang dengan membawa dua hot plate steak dan dua porsi nasi putih.
"Silahkan dinikmati."
"Ada yang bisa kami bantu," tanya salah satu pelayan."Sementara cukup. Terimakasih, Mbak," ucap Gus Sami sopan dengan senyum manis menghias bibirnya.
Gus Sami masih mengingat betul makanan kesukaanku waktu itu. Sekian detik ia membuat hatiku jumpalitan tidak karuan. Masihkah ia mencintaiku sampai terus mengingat makanan kesukaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUS MANTAN
RomanceBagaimana jika kehidupan rumah tangga dibayangi oleh campur tangan mertua yang sejak awal sudah tidak berkenan menerima perempuan itu menjadi menantunya? Hancur, pastinya. Apalagi jika sang Anak selalu patuh pada ibunya sedangkan sang menantu memili...