10. Investor Misterius

124 9 6
                                    

Hujan yang turun sejak siang tadi cukup membuat malamku dingin sampai menusuk ke tulang. Beruntung tadi aku menolak Mas Riko untuk bertemu sehingga aku bisa bersembunyi di balik selimut tebalku yang nyaman sejak pulang dari kantor. Menikmati Drama Korea melalui Televisi smart di kamar cukup mengusir sepiku. Aku hanya turun dari tempat tidur saat Sholat Maghrib dan Isya.


Perutku tiba-tiba berbunyi, pertanda minta diisi. Kuraih ponselku, berniat memesan makanan secara online. Tapi kuurungkan saat kulihat jam ponselku menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah cukup malam untuk menemukan driver yang bisa mengantar makanan ke rumahku.

Akhirnya aku turun dari tempat tidur menuju ruang tengah. Membuka kulkas dan hanya menemukan mie tiaw dan telor. Kupikir mie tiaw telor kuah pedas cukup mengenyangkan dan menghangatkan. Segera aku eksekusi bahan-bahan yang ada. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan mie tiaw yang menggoda selera.

Aku menghidu semangkuk besar mie tiaw kuah lengkap dengan telor dan taburan bawang goreng sambil berjalan menuju ruang tengah, menyalakan televisi, dan duduk manis di sofa.

Menikmati semangkuk mie tiaw kuah panas pedas dengan diiringi simfoni alam dari gemericik hujan tiba-tiba membuat dadaku terasa sesak. Kenangan-kenangan masa lalu dengan suasana yang sama menghentak-hentak ruang bawah sadarku. Beruntung ponselku berdering sehingga aku tidak terlalu lama tenggelam dalam kenangan yang mengaduk perasaanku.

Tulisan 'Gus Mantan memanggil' terpampang di layar ponselku. "Assalamu'alaikum," sapaku.

"Wa'alaikumussalam." Mendengar jawaban salam yang ketus membuat otakku merespon cepat untuk segera pasang kuda-kuda jika tiba-tiba ia menyerang.

"Mau kamu jadikan apa, anakku?" Aku mengernyit, belum juga kutemukan alasan kemarahannya, tiba-tiba ia kembali menyerangku dengan kata-katanya.

"Apa maksudmu membelikannya microphone, tripod, lighting, dan mentrasfer sejumlah uang? Kamu pikir aku tidak bisa memberinya?" Suaranya makin meninggi.

"Dia memiliki ketertarikan pada IT. Aku hanya berusaha memberinya support untuk pengembangan dirinya," jawabku berusaha setenang mungkin.

Gus Sami mendengus di ujung telepon, lalu katanya, "Aku lebih tahu apa yang dia butuhkan dibanding siapa pun. Aku punya pola asuh sendiri untuk anakku dan aku tidak mau ada orang lain mengintervensiku!" bentaknya.

"Nabhan juga anakku. Kamu pikir dia lahir dari mana? Keluar dari batu?" Akhirnya aku pun terpancing untuk berbicara dengan nada tinggi. "Tidak bisa kah kita duduk bersama dan bicara baik-baik seperti orang-orang yang memilih jalan seperti kita?"

Napasku mulai terengah karena dikuasai amarah, tapi aku berusaha tetap tenang dan tegar serta menjaga agar suaraku tidak bergetar, "Aku tahu kamu punya segalanya dan mampu mencukupinya. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat bahwa aku adalah ibunya meskipun aku juga tidak peduli, kelak dia akan mengingatku sebagai perempuan yang pernah mengandung dan melahirkannya atau tidak. Dan perlu kamu tahu bahwa aku melakukan semua itu bukan karena ingin bersaing denganmu atau ingin merebut perhatian Nabhan." Ada sesuatu yang tertahan di kerongkongan, serta nyeri di dada. Rasanya benar-benar sesak, seolah udara sekitarku menghampa. Kutahan sesuatu agar tidak keluar dari sudut mataku, meskipun aku tahu Gus Sami tidak dapat melihatnya.

Hening di seberang sana. "Aku harap setelah ini, kita tidak lagi saling berteriak." Kembali kutarik napas dalam untuk mengganti oksigen kotor di otakku agar memberikan sedikit ketenangan.

"Aku memang tidak bisa menjadi istri yang baik di masa lalu, tapi yakinlah bahwa aku bisa menjadi patner yang baik dalam mendidik Nabhan. Kita tidak perlu saling berusaha menjadi superior. Tak perlu saling bersaing atau saling mengalahkan, karena kita bukan lawan." Sakit rasanya mendengar Gus Sami selalu mengatakan 'anakku' dan menganggapku orang lain untuk Nabhan. Tanpa bisa kutahan lagi, bulir-bulir bening lolos dari sudut-sudut mataku. Tetap hening di seberang sana. Tiba-tiba sambungan ponsel terputus.

***

Suara khas Tenggoret langsung menyambut kami saat pintu mobil dibuka. Pemandangan asri dan sejuk seketika menerpa netraku. Aku menghirup wangi yang menguar dari bunga pohon jati dan menghirup sebanyak mungkin oksigen bersih yang ada di sekitarku sambil memejamkan mata. "Rencananya, sebelah sini akan dibangun resto. Ujung sana tempat parkir dan sebelah sana akan dibangun bungalow-bungalow. Bangunan Hall berada di tengah antara resto dan bungalow." Suara Sakta memaksaku membuka mata.

Aku menoleh kearah Sakta yang tengah berdiri dengan gagahnya. Ia membuka kaca mata hitamnya. Matanya tajam memandang deretan pohon jati di depannya. Sebuah senyuman tersungging dari bibirnya. "Bangunan itu akan merusak ekosistem di sini. Bagaimana nasib tenggoret-tenggoret itu?" protesku. Sakta tersenyum gemas.

"Dengarkan dulu. Aku belum selesai."

"Ah, melamunnya kelamaan," sungutku. Ia kembali tersenyum. Jari telunjuknya mulai menunjuk ke beberapa arah, "Daerah yang agak ke bawah itu adalah kawasan kritis, jadi pohon-pohon jati itu akan tetap kita pertahankan untuk menahan air resapan supaya tidak terjadi longsor dan pasokan air tanah tetap terjaga. Nah, tempat itu akan kita kelola menjadi camping area dengan suasana khas hutan pohon jati. Sebelah sana akan kita bangun jogging track. Bagaimana menurutmu?"

"Bagus."

"Jangan cuma bilang bagus dong. Kamu sebagai penentunya." Sakta memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

"Kok aku? Ini 'kan proyekmu."

"Proyek ini akan diberikan padaku dengan persetujuanmu." Aku makin bingung dengan kalimatnya. "Maksudnya?"

Sakta membuang napas dengan kasar. "Udah, intinya aku minta pendapatmu tentang konsep Resto and Bungalow yang akan kutangani ini." Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Sakta dariku. Dering ponsel Sakta membuatku menelan kembali kalimat yang mau kuucapkan.

"Ya. Ini aku cek lokasi sekaligus mendiskusikan konsepnya dengan Richanah," kata Sakta pada lawan bicara di ponselnya setelah ia mengucapkan salam dan saling menanyakan kabar.

"Kita ketemu setelah semuanya fix aja."

"Oke. Aku akan kabarkan detil perkembangannya."

"Wa'alaikumussalam."

Sakta memasukkan kembali ponselnya kedalam tas pinggangnya. Lalu katanya, "Bagaimana?"

"Siapa?" tanyaku.

"Eh, itu investornya."

"Itu aja?"

"He em." Ia tersenyum kikuk. Aku mengangguk-angguk sambil mengerucutkan mulutku mencoba untuk menepis pikiran-pikiran aneh yang terlintas. "Bagaimana?" ulangnya.

"Aku setuju dengan konsepmu yang tetap mengusung konsep pembangunan berwawasan lingkungan."

Aku sengaja tidak segera menjawab pertanyaannya karena berharap menemukan jawaban dari rasa penasaranku, tapi Sakta selalu pandai menyimpan rahasia.

***

Mohon maaf, part selanjutnya sy up di KBM App..

Terimakasih yg udah follow..

Author janji akan nulis cerita gratis di sini deh..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GUS MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang