Ring....ring.....
"Halo?"
Tidak ada jawaban dari telepon seberang.
"Halo?" tanya Hayi sekali lagi.
Masih belum ada kata-kata yang menyautnya.
Hening menghampiri keduanya.
"Baiklah," kata Hayi sedetik sebelum menutup panggilan misterius itu.
Tatapannya kosong memandang deretan angka asing di layar ponselnya.
Bohong jika Hayi tidak merapal harap.
Hanya satu nama yang dia sebut dalam hati. Berulang ulang bagai mantra.
Seiring sebuah nama itu membekas dalam hatinya, selama itu pula rasa panas merambat dari dada ke matanya.
Titik air mengembun pada kedua bola matanya.
Shit. Umpat Hayi dalam hati.
"You did well, You kept your promise," ucap Hayi pelan.
Please say it like a bitter smile saying let's be happy
--
Hari-hari penyanyi solo itu berjalan seperti biasa.
Apartemen, studio, meeting room.
Begitu seterusnya, berputar membosankan.
Namun itu lebih baik dari sekedar berharap-harap cemas terjebak di balik punggung dingin sebuah agensi besar.
Lee Hayi memainkan pena di jemarinya sambil menggumam nada acak.
Sesekali dia menulis dengan asal, tak jarang ia mencoret beberapa suku kata yang dianggapnya kurang tepat.
Atau menengadah memohon ilham agar pekerjaannya cepat selesai dengan baik.
"Minum. Hari ini semangat banget, lagi pusing lo?" kata partner in crimenya, Code Kunst.
Code Kunst menyodorinya satu kaleng berwarna pink, beer kesukaan Hayi.
"Salah gue semangat?"
Code Kunst mengernyit mendengar pertanyaan dingin dan tajam Hayi.
"God save me. Lo lagi mode senggol bacok ya? Sini cerita."
Memang seperti itu hubungan keduanya.
Jika yang satu karam, satunya mengirim bantuan.
Jika yang satu terbang, satunya mengirim tali mengingatkan untuk tetap ingat dengan daratan.
Hayi menumpahkan kegelisahannya tentang telepon semalam yang sukses membuatnya terjaga.
Pikirannya tersita dan ia bersyukur pekerjaan menumpuknya hari ini setidaknya bisa membuatnya tetap waras.
"Menurut lo, kemarin itu beneran dia bukan, bang?"
Code Kunst melipat tangannya. Bibirnya mengerucut menandakan dia sedang berpikir.
"Jujur gue ngga tahu harus seneng apa sedih," tambah Hayi.
"Mau itu bener dia atau bukan, apa bedanya sih? Hidup kalian udah masing-masing juga."
Hayi seakan terpukul dengan kenyataan. Ia benar, sudah tidak ada benang merah antara dia dan dia.
Jika memang dia kembali, toh apa masalahnya? Tidak akan mengubah apapun dalam hidupnya.
"Gue ngga bisa nentuin itu baik atau buruk. Karena filter paling valid cuma perasaan lo sendiri. As long as you happy, and he feel the same way. Lo udah gede untuk tanya alasan dan ambil keputusan,"
Hayi mengangguk pelan. Kepalanya tak lagi penat setelah mendengar kalimat-kalimat dari abangnya.
Dia sudah cukup dewasa untuk menerima dan meminta tolong seseorang untuk menjauh.
Your life with many scars that swallows up crying in the deep nightI'll pretend you don't know
--
Dalam malam-malamnya, Hayi tak juga menutup mata. Pandangannya terpaku pada langit-langit kamarnya. Namun pikirannya melayang.
Telinganya seolah mendengar tawa dan beberapa kata-kata manis yang dulu selalu ia dapatan.
Hatinya silih berganti merasa ringan dan berat dalam satu waktu.
Tubuhnya terlalu sibuk terjebak, terbiasa dalam nostalgia yang tiba-tiba menariknya berkat satu panggilan misterius.
Sementara angan dan pikirannya menolak mentah-mentah dan memberontak untuk hidup di masa kini dan yang akan datang.
Semata hanya tidak ingin merasa kecewa dan sakit sekali lagi.
Cukup baginya hancur. Butuh waktu lama untuknya menata kembali hidupnya yang berantakan.
Ring...Ring....
Hayi menoleh cepat pada ponselnya yang bergetar.
Deret angka tanpa nama itu kembali muncul.
Sejenak ia tidak ingin menekan tombol hijau sampai panggilan itu diam sendiri.
Namun layarnya kembali menyala menampilkan nomor yang sama.
"Halo?"
"Buka pintunya," katanya. "Please,"
Dan Hayi setengah berlari menuju pintu apartemennya. Dengan tangan bergetar ia memutar knop pintu putih itu dan mendorongnya hingga terbuka.
Ruang tengahnya yang gelap menjadi sedikit terang terkena sinar lampu dari lorong gedung apartemennya.
Diambang pintu tersebut telah berdiri seorang mengenakan hoodie serba hitam.
Tubuhnya tegap tinggi, namun tidak terlalu besar.
Keduanya diam membiarkan mata mereka bertemu.
Manik mata yang saling merindukan.
Hayi tanpa sadar mengankat tangannya dan menyentuh wajah pria di depannya.
Jari-jari Hayi mengelus lembut pipi yang semakin tirus itu.
"Hei," satu kata dari Hayi membuat pria itu menggila.
Tanpa aba-aba sebelumnya tubuh Hayi mundur beberapa langkah diterjang pelukan kuat.
Bunyi pintu yang menutup dengan sendirinya menyeret Hayi kembali ke dunia nyata.
"Hanbin?"
"I miss you Hayi, so much,"
I've never hugged me tightlyHe comforts himself saying that he can be relieved just tonight
Not anymore, he hold her tightly like there is no tomorrow.
Right now, in midnight blue.
==============================================================================
Welcome back bro,