Debur ombak pantai Seoul seperti bersahutan berkata 'semua akan baik-baik saja'. Menenangkan aku yang sedang meringkuk pasrah di pasir putihnya yang lembut. Sepoi angin yang membelai merah megah sunset hari ini membuatku ragu. Begitu indah sampai aku berharap semua ini adalah mimpi fana. Fatamorgana yang riil.
Tapi ngilu dada dan panas kedua mataku berkata lain. Inilah ironi yang telah terjadi padaku. Ironi yang romantis, yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
---
Oppa... oppa....
Suara Hanbyul seperti gema yang samar lama kelamaan semakin jelas. Yang terakhir ku dengar adalah pekik suaranya tepat di dekat telinga. Menarikku dari gelap damai menuju terang pagi yang kubenci. Awal hari yang menggangu. Tidak cukup dengan itu, tangan kecilnya kini menggoncang tubuhku.
"Oppa ayo bangun. Aku hanya hadiah untukmu." katanya.
Meski aku ingin menggerutu, tapi aku tidak akan tega menghancurkan gelembung harapan Hanbyul. Mungkin saja ia memang punya kejutan menarik seperti makanan untukku yang ia buat sendiri seperti beberapa hari lalu.
Aku membuka mataku dan tersenyum padanya. "Kau tahu oppa baru tidur 2 jam yang lalu,kan?" tanyaku Hanbyul masih tersenyum lebar. Baiklah, sebaiknya hadiah ini terasa enak.
Hanbyul menarikku menuju ruang makan. Aku hanya menurut mengkutinya. Tepat satu langkah dari meja makan, lututku seakan lemas. Jantungku mulai terpacu. Aku melihat Hayi disana, menata lauk pauk di ruang makanku, berdiri di dekat omma, satu tangannya digandeng oleh adik kesayanganku. Hayi ada disini, dirumahku.
Dia tertawa, "Man, you look like a mess" omma dan Hanbyul pun ikut tertawa. Aku menunduk, menatap diriku sendiri. Baru kusadari kalau aku tidak memakai apapun kecuali celana boxer pendek. SHIT!! Secepat kilat aku berlari kembali dalam kamar. Kudengar mereka tertawa keras.
==
"Selamat makan..." kata Hanbyul girang. Deretan makanan khas Korea lezat sudah tersaji. Tidak lupa Main Dish kali ini adalah Ganjang Gejang dari Lamese Cedeau, restoran milik keluarga Hayi. Ibu Hanbin, Hanbyul, dan Hayi bersemangat menyendok nasi mereka. Berbeda dengan Hanbin yang masih diam mencerna apa yang terjadi. Kenapa Hayi tiba-tiba ada di rumahnya. Bagaimana Hayi bisa bersikap seperti tidak ada apa-apa.
"Hayi unni, nanti menginap saja ya? Sudah lama kita tidak main bersama," celetuk Hanbyul.
Semua diam, membuat Hanbyul bingung. "Kenapa? Tidak boleh ya?"
Hayi meletakkan sendoknya kemudian tersenyum. "Hayi unni juga sangat ingin tinggal. Tapi, Hayi unni harus pulang karena harus membantu di restoran," jawab Hayi berbohong.
Semua orang tahu jika kunjungan Hayi tercium media, akan terjadi skandal besar bagi Hayi maupun keluarga Hanbin. Namun, tentu saja si kecil Hanbyul tidak peduli dengan itu semua. Ia hanya cemberut mendengar jawaban Hayi yang menolak ajakannya untuk tinggal dan bermain bersama.
"Unni-"
"Hanbyul, Hayi unni harus pulang. Dia sangat sibuk, kamu tidak boleh memaksanya," Hanbin menyerobot kalimat Hanbyul. Seketika hembusan aura dingin meniup hati Hayi dan juga Ibu Hanbin. Seperti ada tamparan dalam kalimat lembut Hanbin pada adik semata wayangnya.
Tanpa emngindahkan kecanggungan yang ia buat, Hanbin justru mengeratkan cengkraman pada sumpitnya. Ia membabi buta melahap makanan di depannya. Leader itu pun tidak peduli dengan orang lain di meja makan. Ia ingin segera pergi dari meja makan itu. Terlalu membingungkan baginya di pagi ini.
Saat Hanbin ingin mengambil potongan terakhir Ganjang Gaejang, ibu Hanbin mengambil piring itu. "Kau sudah makan banyak, hentikan." katanya dengan suara tegas. Jelas ia tidak suka dengan sikap anaknya yang seolah tidak menghargai kedatangan Hayi dan ingin segera pergi.
Wanita paruhbaya itu beralih pada Hanbyul, "Hanbyul, ayo kita ke restoran paman. Disana ada banyak hadiah yang menanti kita." bujuknya.
Dan seperti itulah sarapan paling canggung dalam kehidupan Hanbin berakhir.
-
Hayi POV
"Hayi... Bibi tahu kondisi ini sangat berat. Tapi, bibi tidak yakin dengan keputusanmu. Bagaimana jika Hanbin semakin hancur?"
Hayi meraih tangan hangat wanita didepannya. Ia memegangnya erat, "Hanbin adalah pria yang kuat, Hayi yakin Hanbin bisa melaluinya."
Aku menghela nafas panjang mengingat percakapanku dengan Ibu Hanbin pagi tadi. Hatiku menjadi semakin berat. Sepertinya hari ini akan menjadi hari paling menyakitkan yang akan kulalui. Suka atau tidak, aku sudah tidak bisa kabur dari kenyataan.
"Hayi.."
Jantungku seperti berhenti mendengar namaku dia panggil. Aku berbalik lalu menyodorinya sepiring buah yang sudah kupotong. "Dessert," ucapku berusaha bertingkah normal didepan Hanbin.
Wajah Hanbin masih datar memandangku yang masih tersenyum seperti orang bodoh. Ak berjalan melewatinya menuju ruang tengah. Setelah meletakkan sepiring buah di atas meja aku duduk sofa. Kalau saja kalian tahu, gerakanku sangat kikuk karena sepasang mata yang mengeluarkan laser mengintaiku sejak awal aku menginjakkan kaki di rumah kediaman Kim.
"Sebenarnya apa yang kaupikirkan?" kata Hanbin sembari berjalan ke arahku. " Kenapa kau tiba-tiba ada di rumahku?" lanjutnya setelah duduk disampingku.
"Kenapa? Aku tidak boleh kesini?" jujur aku tersinggung. Dia tidak bertanya tentang kabar atau bagaimana keadaanku setelah kepergian mendadaknya. Hanbin justru lebih peduli pada hal lain.
Kulihat tatapan Hanbin melembut, "Bukan begitu. Aku hanya khawatir, datang ke rumahku adalah hal terakhir yang kuinginkan darimu." tangannya beralih membelai wajahku. "Kau bisa saja terkena bahaya, Hayi".
"Bahaya apa yang kau maksud?" tanyaku sambil terus menatap wajahnya.
Ia menghela nafas dan melepaskan tangannya. Hanbin kembali memasang wajah datar, "Kau tidak sadar bahaya apa yang mengelilingmu? Bagaimana jika dispatch tahu kau disini?"
Aku tersenyum sinis. "Mereka akan membuat artikel tentangku dan aku akan mendapatkan komentar jahat dari netizen. Apa itu bahaya yang kau maksud?" tanyaku balik menyerangnya.
"Itu kau tahu. Hayi, terlibat dalam masalah akan membuat agensi membencimu dan kau akan semakin diabaikan." jawabnya lugas, tanpa filter sedikit pun. Ya, kini dia mulai mengguruiku. Tidak apa, toh perkataannya benar.
DIABAIKAN. Kata itu dengan cepat memancing emosiku yang terpendam. Ya, memang aku adalah artis yang diabaikan. Mereka berpaling dari bakat dan kemampuanku. Mereka mengabaikan sisi terbaikku dan memilih berpura-pura buta bahwa aku ada.
"Diabaikan..." tatapanku bertemu dengan manik mata Hanbin. Meski pandanganku menjadi kabur karena air mata, tapi aku tidak meninggalkan mata cokelatnya. "Benar, mereka akan mengabaikanku. Seperti yang kau lakukan, Hanbin" ucapku tegas mencoba menahan suara yang pecah karena tangis.
Aku seperti menembakkan peluru panas tepat pada jantungnya. Kuakui, aku merasa puas telah membuka katup emosi yang selama ini menjadi pengganjal. Selama ini aku berusaha menahannya, tapi tidak untuk sekarang. Aku akan meluapkannya, pada orang yang paling membuatku kecewa. Bukan YG, bukan member iKON atau netizen. Tapi pada kekasihku, Kim Hanbin.
========================
Mau sad ending ato happy ending?