bagian dua

5.8K 631 6
                                    

Latihan memang sudah dimulai saat Oliv dan Keisha tiba di GOR. Seraya berjalan menuju tribun, sesekali Oliv melirik pada anak-anak futsal yang tengah melakukan pemanasan dengan mengelilingi lapangan, entah sudah putaran yang ke berapa. Dan tampaknya, memang tidak ada satu pun dari mereka yang Oliv kenali.

Oliv menghela napas, lalu menempatkan bokongnya di salah satu kursi di jajaran paling bawah. Keisha pun turut duduk di sebelahnya.

Oliv memperhatikan sekelilingnya sejenak sebelum melemparkan pertanyaan, "Tiap latihan emang suka banyak yang nonton gini ya, Kei?"

Keisha menoleh, kemudian mengangguk. "Iya, lumayan. Buat beberapa orang tuh seru aja gitu nontonin mereka latihan."

"Oh, gitu." Oliv manggut-manggut. Kemudian tatapan penasarannya muncul kala ia melihat ke arah lapangan. "Omong-omong, temen lo yang mana sih, Kei? Kayaknya beda jurusan sama kita, ya?"

"Iya, beda. Orangnya yang itu tuh, yang baju item, nomor punggungnya 13," balas Keisha sambil mengarahkan telunjuknya pada seorang laki-laki yang masih berlari mengelilingi lapangan. Dan seperti kata Keisha, ia memakai baju futsal berwarna hitam dengan nomor punggung 13. Nama Rezka pun tertulis di sana.

"Oh, itu," sahut Oliv yang masih memperhatikan punggung lebar itu. Lalu pada detik berikutnya, ia beralih pada Keisha. "Gue kayaknya sering denger deh namanya, tapi belum pernah liat orangnya. Temen-temen yang lain juga sering ngomongin. Gue kira dia pacar lo, Kei."

Mendengar hal itu, Keisha seketika tergeming. Tapi dilihat dari wajahnya, perempuan itu bukan merasa tersinggung. "Yah ... emang nggak bisa dibilang temen biasa juga, sih," tukasnya dengan senyum masam. "Tapi, nggak bisa dibilang pacar juga. Gue sendiri bingung, Liv."

Sesungguhnya Oliv ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi ia rasa ia sudah melakukannya sejak tadi. Oliv meringis, sepertinya keingintahuan berlebihnya malah membuat Keisha tidak nyaman. "Duh, sori ya Kei, gue terlalu kepo, ya?" ujar Oliv dengan nada menyesal. "Gue sebenernya cuma cari bahan obrolan aja, tapi jatohnya malah jadi menganggu privasi lo."

Bukannya langsung menjawab, Keisha hanya mengerjap, dan sejurus kemudian, tawa ringannya mengudara. "Ya ampun, santai aja kali, Liv. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu nggak bikin gue terganggu, kok." Keisha menjeda sejenak. "Kalo gitu, gantian. Gue boleh nanya-nanya tentang lo, nggak?"

"Nanya tentang gue?" tanya Oliv bingung. "Nanyain apa? Kayaknya nggak ada yang menarik kalo ngomongin gue."

Keisha terkekeh. "Ada, tau," katanya. "Lo keturunan mana sih, Liv, sebenernya? Pas pertama kali liat lo, gue jadi penasaran. Pengin nanyain itu tapi kita jarang ngobrol berdua gini di kelas."

"Oh?" Oliv membulatkan kedua mata lalu secara otomatis menyentuh wajahnya sendiri. Sejujurnya saat awal-awal masuk kuliah, Oliv memang sudah sering mendapatkan pertanyaan semacam itu. "Gue kira lo udah tau dari anak-anak lain. Sebenernya kakek dari bokap gue tuh orang Jerman, dan beliau menikah sama orang Jerman yang punya darah Indonesia. Bokap gue pindah ke Indo terus ketemu nyokap. Mereka nikah dan jadilah gue. Eh, maksudnya setelah mereka--"

"Ah, iya, gue paham, nggak perlu dijelasin," sela Keisha sambil tertawa pelan. Masa Oliv benar-benar akan menjelaskan bagian itu? "Berarti, lo pernah ke Jerman, dong?"

Bibir Oliv mengerucut, tapi ia tetap mengangguk. "Pernah, tapi waktu gue masih kecil banget. Sekarang-sekarang malah kakek nenek gue yang sering nyamperin ke sini. Ortu gue sibuk kerja, kalo gue ke sana sendiri malah nggak diizinin."

"Hmm, gitu ya. Suatu saat lo pasti bisa ke sana lagi, kok."

"Semoga deh, Kei."

Kemudian mereka berdua terdiam seolah kehabisan bahan obrolan. Kini Oliv maupun Keisha fokus ke arah lapangan di mana anak-anak futsal sudah dibagi menjadi dua tim dan akan bertanding. Tampaknya ini merupakan bagian terseru untuk ditonton bagi orang-orang yang sejak tadi menyaksikan dari bangku penonton.

Pertandingan dimulai setelah tiupan peluit terdengar melengking. Beberapa penonton langsung bersorak setelahnya. Oliv pun mulai tampak serius menyaksikan, tapi tiba-tiba saja ia merasa perlu ke toilet saat ini juga. Menyebalkan sekali.

Oliv pun beralih pada Keisha dan berkata, "Kei, gue mau ke toilet dulu, ya. Kebelet, nih!"

"Oh, mau gue temenin?" tawar Keisha.

Oliv segera menggeleng. "Nggak usah, nggak papa. Toiletnya deket juga kok dari sini." Ia pun bingkas dari kursinya. "Bentar ya, Kei."

Perempuan berambut cokelat gelap yang dibiarkan terurai itu segera menuruni tribun dan berjalan melewati pinggir lapangan untuk mencapai pintu keluar. Namun, belum sempat sampai ke sana, tiba-tiba saja sesuatu berbahan keras menghantam kepalanya tanpa peringatan.

Semuanya terjadi begitu tiba-tiba, dan tak ada yang menyangka bahwa tendangan itu akan mengenai seseorang hingga membuat hampir semua yang ada di sana seketika syok.

"Oliv!"

Samar-samar Oliv mendengar seruan Keisha sementara tubuhnya ambruk ke lantai. Perempuan itu memegangi kepala bagian kirinya yang terasa luar biasa sakit. Pandangannya mulai mengabur, sementara telinganya sedikit berdengung. Langkah-langkah kaki segera mendekat dan mengerumuninya. Oliv juga merasakan seseorang meraih kedua bahunya, memegangnya kuat.

Sayangnya, Oliv tidak sempat mengetahui siapa orang itu sebab kesadarannya mulai terenggut secara perlahan hingga hanya gelap yang tersisa.

author's note:

aku update lagi yeay!

udah kebiasaan aku kayaknya kalo nulis cerita yang ringan gini pasti lancar banget sampe update tiap hari pun bisa wkwkwk. tapi untuk cerita ini belum tau sih. aku udah beres nulis beberapa part, tapi belum tau bakal di up tiap hari sambil lanjut nulis atau gimana. tergantung mood aja sih kayaknya hehe.

btw, part ini udah menjelaskan insiden yang disebut di blurb yaa. emang bukan yang gimana-gimana kok, cuma ketimpuk bola doang. tapi tetep kasian deh sama oliv :(

kalo penasaran sama kelanjutannya, pantengin terus hey, olivia! okey!

see you asap! ❤

with love,

dindaarula.

(14 april 2020)

Hey, Olivia! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang