bagian sembilan

3.5K 417 0
                                    

Perjuangan Oliv setelah berhasil mengerjakan soal-soal UAS kemarin rupanya belum berakhir. Dua hari lalu pengumuman mengenai data sementara nilai ujian dari seluruh mata kuliah sudah keluar. Sial sekali ternyata Oliv harus melakukan perbaikan untuk dua mata kuliah agar IPK untuk semester ini tidak buruk-buruk amat.

Setelah perwakilan mahasiswa menghubungi dosen yang bersangkutan, akhirnya telah ditentukan jadwal untuk perbaikan yang tentunya berbeda di setiap mata kuliahnya. Beruntung sekali jadwal perbaikan Oliv dilakukan di hari yang sama. Jadi setelah ini, Oliv akan benar-benar bebas dan bisa mulai menikmati liburan semester sambil menunggu keluarnya hasil akhir dari nilai ujian.

"Ra, ntar liburan enaknya ke mana ya?" tanya Oliv pada Maura, beberapa menit sebelum ujian dimulai. Kebetulan Maura pun akan melakukan perbaikan karena ia membutuhkannya.

Mendengar pertanyaan itu Maura kontan memutar kedua matanya malas. "Astaga, Liv. Remed aja belom kelar lo udah sibuk mikirin liburan."

Oliv menampakkan cengirannya. "Habis nggak sabar banget gue. Emangnya lo nggak stres sama kuliah? Iya sih kita baru semester satu, tapi gue pribadi rasanya udah ngos-ngosan banget, Ra!"

"Ya kali nggak bikin stres, Liv," balas Maura seraya menghela napas. "Btw, liburan nanti bukannya lo bakal pulang ke Bandung, ya?"

"Hm, iya kali, tapi nggak tau juga. Kalo pulang mungkin bentar doang, buat reuni sama temen-temen SMA. Di rumah gue kan sepi, jadi kayaknya percuma juga kalo pulang."

Maura mendadak terdiam, tak menyangka Oliv akan menjawab demikian. Yah, Maura bukannya tidak tahu menahu soal Oliv yang merupakan anak tunggal dan mempunyai orangtua yang sibuk bekerja. Tapi apa yang membuat Oliv membahas perihal itu adalah karena pertanyaan Maura, yang membuat ia seketika merasa tidak enak terhadap Oliv.

Namun, tampaknya Maura tidak perlu khawatir karena Oliv terlihat biasa saja seolah hanya membicarakan hal lumrah yang sering ia bicarakan dengan teman-temannya.

"Nanti kita rencanain oke?" kata Maura setelahnya, berusaha untuk membuat Oliv merasa lebih baik. "Ada banyak banget loh tempat di Jakarta yang belom lo datengin selain mall. Lo harus cobain ke sana pokoknya!"

"Serius lo?" Oliv seketika tampak sumringah. "Asik! Ah, emang terbaik banget deh lo, Ra!"

Sayangnya, kesenangan Oliv harus tertunda sementara karena dosen akhirnya memasuki ruangan seraya membawa map cokelat berisi soal beserta lembar jawaban. Oliv harus kembali berjuang saat ini untuk menyambut hari libur yang sudah nyaris terlihat di depan mata.

Pukul empat sore, seluruh mahasiswa dari ruangan itu mulai keluar satu per satu setelah menyelesaikan ujian perbaikan mereka.

Arlan menghirup napas dalam kemudian diembuskannya. Beruntung Arlan hanya mendapat nilai kurang di satu mata kuliah saja, sehingga mulai detik ini dapat ia katakan sebagai hari merdekanya. Mungkin setelah ini Arlan akan menghubungi orangtuanya dan segera menentukan jadwal pulang.

Setelah meninggalkan area fakultasnya, Arlan merasakan getaran panjang dari saku celana di mana ponselnya berada. Nama kontak Rezka terpampang nyata di sana, dan tanpa pikir panjang Arlan segera menjawabnya.

"Oy, Ka," sapanya kasual. "Kenapa?"

"Eh, lo udah beres remed, Lan?" tanya Reza dari seberang sana.

"Baru aja kelar."

"Bagus. Gue nitip minum dong bawain ke GOR, tadi gue nggak sempet beli soalnya dan bentar lagi latihannya mulai."

Arlan kontan mendengkus setelah mendengarnya. Padahal baru saja ia akan menikmati kebebasannya dengan langsung pulang ke kos dan tidur sepuasnya. "Emang ya, ngerepotin orang mulu lo kerjaannya," cibirnya dengan maksud bercanda, tapi nada bicaranya malah terdengar serius.

"Anjirlah, emang dasar temen laknat ye lo," balas Rezka kesal.

Alih-alih marah, Arlan justru  menanggapinya dengan santai. Salah satu sudut bibirnya bahkan terangkat sesaat. "Minuman apaan? Buruan, mumpung gue belum nyampe deket GOR."

"Apa ajalah serah lo asal bisa gue minum."

"Hm, oke." Tanpa menunggu balasan Rezka, Arlan langsung memutuskan sambungan telepon.

Kebetulan saat ini Arlan tengah melewati area FIKOM, dan ia memutuskan untuk berkunjung ke kantin yang ada di sana saja. Untungnya Arlan sudah pernah ke sana saat ia menemani Rezka untuk menemui Keisha beberapa waktu lalu. Arlan juga masih cukup hafal letaknya, sehingga ia takkan terlihat seperti anak hilang di kandang orang.

Setelah sampai, Arlan segera menuju ke salah satu kedai yang menjajakan berbagai makanan ringan serta minuman dalam kemasan--yang untungnya masih buka. Ia membuka chiller dan meraih dua botol minuman berasa, kemudian segera membayarnya.

"Aduh, Dek, nggak udah uang kecil, nih?" tanya si penjual saat menerima selembar uang berwarna biru dari Arlan.

"Duh, maaf Bu, nggak ada," balas Arlan sekenanya.

"Ya udah, saya tuker uang dulu bentar ya," kata si ibu-ibu penjual yang segera meninggalkan kedainya menuju beberapa kedai lain yang masih buka.

Arlan menghela napas. Sembari menunggu, ia menempati salah satu meja kosong di sana seraya memperhatikan suasana kantin yang sudah cukup sepi sore ini. Tidak ada yang menarik, sampai tiba-tiba saja sepasang manusia memasuki area kantin secara bersamaan.

Selama beberapa detik Arlan terpaku pada si perempuan dengan perasaan yang tak terdefinisikan, hingga ia mulai menyadari ada yang tidak beres di antara mereka. Asumsinya bahwa mereka adalah sepasang kekasih langsung terpatahkan begitu saja.

Saat ini, Olivia Maier tengah berada dalam situasi yang membuat perempuan itu sangat tak nyaman jika dilihat dari gerak-geriknya.

Meskipun dirinya sadar kalau hubungannya dengan Oliv belum sedekat itu yang membuat ia tidak perlu repot-repot untuk ikut campur, namun Arlan merasa bahwa ia harus mengambil tindakan saat ini juga.

(22 april 2021)

Hey, Olivia! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang