bagian dua puluh

2.9K 357 18
                                    

Pada akhirnya, ide untuk menonton film hari ini merupakan sebuah ide yang buruk. Oliv sama sekali tak menyangka bahwa film yang ia pilih bersama Arlan terdapat adegan pembunuhan sadis di dalamnya. Jika sejak awal Oliv tahu, ia pasti akan segera mengeluarkan dari daftar pilihan film yang akan mereka tonton.

Oliv memejamkan mata dengan rapat, kemudian menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja. Ia sungguh malu, terlebih lagi pada Arlan, meskipun laki-laki itu sama sekali tidak terganggu dengan keadaan Oliv yang seperti itu dan malah berusaha menenangkannya.

"Lo beneran udah nggak papa?"

Mendengar suara Arlan, Oliv langsung mengangkat kepala. Ia mendapati laki-laki itu sudah tiba di meja mereka sambil membawa pesanan mereka. Arlan pun menaruh nampan di atas meja, lalu ia sendiri duduk di hadapan Oliv.

Oliv menggeleng. "Nggak papa, kok," balas Oliv sekenanya. Lalu perempuan itu memasang tampang bersalahnya. "Arlan, sekali lagi sori ya, acara nontonnya malah gagal. Lo juga jadi harus ngeliat gue ketakutan kayak tadi, deh."

Arlan tersenyum lembut. Merupakan jenis senyum yang jarang sekali ia tunjukkan di depan Oliv. "Udah, nggak usah dipikirin," kata laki-laki itu. "Sekarang mending lo makan dulu. Tadi gue juga udah tambahin mcflurry, siapa tau bisa memperbaiki mood lo."

Sebenarnya setelah melihat darah di film tadi, nafsu makan Oliv langsung menurun drastis. Namun, berkat Arlan dan waktu yang diberikannya, Oliv sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Ia pun setuju-setuju saja kala Arlan mengajaknya untuk makan siang--menjelang sore.

Oliv maupun Arlan menikmati makanan masing-masing dengan tenang, tak ada yang berbicara sampai satu dari mereka berhasil menandaskannya. Sudah jelas itu adalah Arlan, sementara Oliv menjadi bukti nyata dari kebanyakan perempuan yang tidak bisa menghabiskan makanan dengan cepat. Meskipun begitu, Arlan tetap sabar menungguinya tanpa protes sedikit pun.

"Gue balik ke Jakarta sekitar tiga hari lagi," ujar Arlan tiba-tiba yang memulai percakapan lagi antara mereka. Ia baru saja kembali ke meja setelah mencuci tangan. "Lo mau bareng gue atau ... gimana?"

Oliv menggigit nasi yang ia makan dengan cara seperti memakan burger. Selama mengunyah, ia berpikir sejenak. Perihal apa yang Arlan tanyakan membuat Oliv teringat pada perkataan Mama dimana ia menyarankan agar Oliv kembali ke Jakarta bersama Arlan. Namun, Oliv masih bimbang apakah ia harus benar-benar melakukannya atau tidak.

Seolah dapat membaca pikiran Oliv, Arlan kembali menambahkan, "Kalo nggak juga nggak papa, gue nggak maksa. Seenggaknya gue udah ngajak lo. Gue cuma keingetan aja kata-kata nyokap lo kemaren."

Oliv menghela napas. Setelah makanan di mulut benar-benar tak bersisa, ia malah melemparkan pertanyaan alih-alih menanggapi apa yang Arlan ucapkan barusan. "Lo kenapa cepet banget baliknya?" tanya Oliv. "Kalo gue sih karena udah ada janji sama temen gue di sana. Kalo lo?"

"Lo tau. Alasannya udah dijelasin sama nyokap gue kemarin."

"Karena nggak betah?"

"Kurang lebih begitu. Apalagi ini di Bandung, sementara temen sekolah gue dulu di Bogor semua, dan temen kuliah kebanyakan domisili Jakarta."

Sebelum membalas lagi, Oliv berusaha menghabiskan nasi yang sudah tinggal sedikit lagi, sedangkan ayam krispi yang menjadi lauknya sudah habis lebih dulu. Oliv beranjak sejenak untuk cuci tangan dan kembali dengan cepat. "Besok gue kabarin, ya," putus Oliv pada akhirnya.

Arlan pun mengangguk mengerti. "Oke." Laki-laki itu menghela napas sejenak seraya menegakkan tubuhnya. "Habis ini mau lanjut? Atau lo mau pulang aja?"

Oliv menenggak minuman sodanya. "Hm, berhubung udah jauh-jauh ke sini, kayanya mending lanjut aja," balas perempuan itu kemudian. "Lagian tadi niat nonton malah jadinya gitu. Nggak seru deh."

Hey, Olivia! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang