bagian tiga

5.3K 590 11
                                    

"Mampus lo, Ka, mampus. Kalo dia sampe gegar otak, gimana?!"

Rezka dengan wajah pucat berjalan mondar-mandir di depan ruangan di mana Oliv ditangani oleh dokter tadi. Perempuan itu masih belum sadarkan diri, dan hal itulah yang membuat Rezka masih belum bisa tenang. Ia betul-betul merasa bersalah, bisa-bisanya bola yang ia tendang sampai mengenai seseorang dan membuatnya pingsan.

Kalau sampai Oliv benar-benar terkena gegar otak, Rezka mungkin akan diserang oleh perasaan bersalah seumur hidupnya.

"Ka, lo tenang dulu, dong." Keisha yang semula duduk di kursi tunggu pun bingkas dan menyentuh bahu Rezka lembut, tak tahan melihat laki-laki itu yang tidak bisa diam. "Tadi kan dokter bilang Oliv nggak papa, nggak ada yang serius. Dia pingsan kemungkinan besar gara-gara syok aja. Mending lo berdoa supaya Oliv beneran nggak papa dan nggak akan ada gejala-gejala gegar otak yang muncul nantinya."

Rezka berhenti dan menatap Keisha. Raut panik masih tampak jelas di wajahnya. "Tapi tetep aja, Kei, gue udah bikin anak orang celaka! Gimana gue bisa tenang?!"

"Tapi elo kan nggak sengaja, itu cuma kecelakaan."

"Tetep aja Kei--"

"Heh, lo tenang dulu napa?" sela Arlan yang sedari tadi hanya diam di kursi. "Lagian emang bener itu cuma kecelakaan, lo nggak bisa nyalahin diri lo terus-terusan."

Omong-omong soal Arlan, kalau ada yang bertanya kenapa ia bisa terlibat dan turut berada di sana, jawabannya adalah karena pemandangan yang pertama ia lihat kala memasuki GOR adalah bola yang melambung hingga menghantam kepala Oliv dan bagaimana perempuan itu langsung ambruk setelahnya. Arlan sangat terkejut dan cepat-cepat menghampiri Oliv, tapi sayangnya Oliv sudah keburu tak sadarkan diri.

Setelahnya Arlan mengetahui bahwa pelakunya adalah Rezka yang merupakan teman dekatnya sendiri. Keisha pun berada di sana, dan Arlan akhirnya tahu bahwa ia teman sekelas Oliv.

Arlan berinisiatif untuk langsung membawa Oliv ke ruang kesehatan kampus, tapi sialnya sudah tutup. Kemudian Keisha memberi usul untuk membawa Oliv ke puskesmas terdekat dari kampus saja. Arlan setuju, dan tanpa pikir panjang ia segera menuju ke mobilnya sebab ia tak mungkin terus membopong Oliv seraya mencari puskesmas.

Arlan mengembuskan napas panjang kemudian bingkas dari kursi, membiarkan Rezka menenangkan diri dengan ditemani oleh Keisha. Laki-laki itu memasuki ruang pemeriksaan, ingin mengecek keadaan Oliv.

Berdiri di sebelah tempat tidur, Arlan memandangi wajah Oliv yang tampak damai dalam keadaan tidak sadar. Baru sempat memperhatikannya dengan jelas, Arlan tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Bagaimana bisa ia tidak pernah tahu tentang keberadaan Oliv selama satu semester ini? Wajah keturunan Eropa yang tampak mencolok serta kecantikannya yang tidak bisa diabaikan begitu saja, bagaimana mungkin Arlan tidak pernah melihatnya?

Apakah Oliv selalu bersembunyi di gedung jurusannya, atau justru Arlan? Yah, ia memang jarang sekali main ke jurusan lain kalau tidak ada urusan penting.

Apakah Arlan yang kurang update dengan informasi-informasi yang ada? Pasalnya, mereka pernah melakukan ospek kampus di mana seluruh jurusan bersatu. Dengan wajah Oliv yang seperti itu pasti ada saja anak-anak yang membicarakannya. Tapi jujur saja, Arlan tidak pernah mendengar hal-hal seperti itu.

Dan sekarang Arlan malah bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa ia jadi sibuk memikirkan Oliv?

Arlan segera menggeleng-gelengkan kepala. Tujuannya kan hanya untuk mengecek keadaan Oliv yang ternyata masih belum siuman. Karena itu, Arlan pun berniat untuk kembali menunggu di luar saja.

Namun, baru selangkah Arlan pergi, ia menemukan kedua mata Oliv yang perlahan terbuka saat ia hendak mengecek keadaan perempuan itu sekali lagi. Akhirnya Oliv sadar juga dan Arlan serta yang lain tidak perlu menunggu lebih lama.

Arlan segera mendekat kembali dan memperhatikan Oliv yang kini melihat ke sekitar dengan pandangan bingung, hingga akhirnya mata mereka bertemu. Arlan mengerjap dan seketika kehilangan kata. Sepasang iris cokelat terang nan indah itu sukses membuatnya terdistraksi.

"Gue ... kenapa bisa ada di sini?" tanya Oliv sambil berusaha duduk. "Seinget gue tadi tuh lagi di GOR, bareng Keisha buat nonton--" Seolah tersadar akan sesuatu, Oliv tiba-tiba saja membulatkan kedua mata. "Hah, masa sih gue pingsan gara-gara kena bola tadi?"

Ini dia ... ngomong sendiri? batin Arlan yang memandang Oliv dengan kerutan di dahi.

Oliv kembali menatap Arlan, tampak ingin menanyakan sesuatu. Namun, tiba-tiba saja ia meringis dan memegangi kepala sebelah kirinya.

Arlan yang menyaksikan hal itu kembali diserang rasa panik. "Hey, lo nggak papa? Sakit banget, nggak? Apa perlu gue panggil lagi dokternya?" tanyanya secara beruntun. Ia khawatir apa yang dikatakan dokter tadi malah terjadi lebih cepat dari perkiraan.

"Nggak ... nggak papa kok, nggak sesakit tadi," lirih Oliv setelah rasa sakitnya mereda. Ia kembali memandang Arlan yang masih setia berada di samping tempat tidur. "Oh iya, btw lo siapa, ya? Kenapa bisa di sini? Kenap--oh, atau jangan-jangan lo yang tadi nendang bola ya, makanya sampe nungguin gue segala?!"

"Hah?" Arlan tidak menyangka Oliv akan berasumsi seperti itu alih-alih berterimakasih karena sudah menolongnya.

Tapi ... kalau dipikir-pikir, tidak salah jika Oliv berpikir demikian. Yang seharusnya ada di sana ialah Rezka, bukan Arlan. Laki-laki itu hanya membantu karena Rezka terlalu shock saat itu, dan Keisha tidak mungkin membawa Oliv sendirian.

Arlan jadi agak menyesal karena sudah terlibat dengan semua ini.

(15 april 2021)

Hey, Olivia! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang