E

525 46 2
                                    

Jam menunjukan pukul enam sore. Jaemin sudah menunggu selama satu jam di depan gerbang sekolahnya yang berhadapan langsung dengan sekolah Seni itu.

Hari ini ia memutuskan untuk berkenalan dengan Renjun. Meski ia sudah tahu namanya tetapi ia yakin Renjun tidak mengetahui keberadaannya.

Aneh sekali. Dari informasi yang ia dapatkan sekolah seni itu harusnya sudah selesai sedari jam lima. Ia bahkan melihat banyak murid berjalan pulang. Tetapi matanya tidak menangkap sosok yang ia cari.

Berpuluh menit lagi terlewat, sebelum Jaemin memutuskan kembali ke halte. Matanya menangkap sosok yang ia cari berjalan keluar gedung sekolahnya.

Tetapi ia tidak sendiri. Bersama beberapa orang lain.

Jaemin mengerutkan keningnya saat melihat remaja lain terlihat mengusik Renjun.

Tangannya mengepal saatsalah seorang dari para penganggu itu menoyor bahkan memukul main-main lengan Renjun.

Anak itu hanya terdiam. Hal itu membuat Jaemin merasakan hal aneh di dadanya.

Renjun terjatuh saat seorang lain menendang kakinya. Rambutnya diusak kasar dan segelas minuman berwarna biru dituangkan sebelum keempat remaja lain itu pergi.

Renjun terduduk di trotoar. Tidak bergerak.

Jaemin tanpa sadar melangkahkan kakinya hingga ia tersadar ia sudah berada dihadapan Renjun.

Renjun meletakan kedua tangannya pada pelipisnya, mengantisipasi pergerakan lain dari orang didepannya.

Nyatanya Jaemin hanya diam berdiri disana. Hingga selang beberapa menit suara isakan Renjun mengalun dijalanan sepi itu.

Jaemin bisa mendengar napasnya berat sebelum akhirnya tubuh itu terjatuh lemas.

Jaemin menopang tubuh yang lebih kecil itu. Menyibak rambutnya yang lengket. Matanya membola saat melihat beberapa luka kecil diwajahnya. Satu di sudut bibirnya dan goresan kecil di pipinya.

Bahkan tubuhnya panas.

Jaemin membawa Renjun kedalam sekolahnya, berharap klinik kesehatannya masih dibuka.

Untungnya harapannya terkabul.

Ia keluar dari klinik setelah memastikan Renjun diobati dan menganti bajunya.

Jaemin meremat kemeja seragamnya, tepat didadanya. Rasanya aneh.

***

"Jaemin? Ya. Apa kau mendengarku?"

"Huh? Apa?"

Jeno menghela napasnya. Ia membawa dirinya duduk dihadapan Jaemin. Suasana kantin siang itu lenggang karena kebanyakan murid berada diaula untuk menonton pertunjukan musik.

"Jadwal latihan kita sudah dibagi. Apa kau mau tinggal di asrama untuk beberapa minggu kedepan?"

"ah itu. Aku belum meminta ijin orang tuaku. Kau akan tinggal di asrama?"

Jeno mengangguk, meneguk sodanya.

"Apa ada yang menganggumu?"

Jaemin terdiam, menatap tangannya diatas meja.

"tidak"

"kau yakin? Sudah sebulan ini kau terlihat tidak fokus"

Jaemin tertawa.

"Kau mengkhawatirkanku eh? Manis sekali Lee Jeno"

"Ah aku jadi menyesal bertanya padamu"

Psycho 2/3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang