Bagian 7

160 34 13
                                    

Cahaya siang memudar, membias senja yang bersinar. Halte sekolah yang tadinya ramai, kini hanya menyisakan diriku seorang. Entah karena terlalu banyak melamun atau mungkin para supir bis bernomor 167 memang mogok kerja sore ini.

Kubiarkan angin petang menyapu wajah dan rambutku, menengok ke kanan dan kiri namun tak ada satupun angkutan umum yang terlihat. Kuyakin, sedaritadi duduk disini memang tidak ada. Anak-anak lainnya menaiki bis yang berbeda dan sebagian lagi masuk ke dalam mobil pribadi atau naik ke atas sepeda motor. Kulihat jam yang melingkar ditangan kiri, jarumnya menujukan angka 6 rasanya cepat sekali petang berganti malam.

Inginnya aku menghubungi ayah untuk menjemput disini, tapi buru-buru kugelengkan kepala. Kucoba mengeraskan hati untuk tidak membebani ayah dengan memintanya memutar jalan dari arah kantornya. Pekerjaannya pasti sudah melelahkan dan aku harus mandiri.

Melihat siatuasi yang begitu sepi membuat nyaliku yang baru saja meningkat, tiba-tiba surut kembali. Kini aku tak bisa lagi duduk diam, terlalu gelisah dengan pikiran yang mulai tak karuan.

"Belum pulang?"

Aku terkejut refleks mundur beberapa langkah. Kupikir hantu, nyaris saja aku berteriak. Namun meski kakinya masih menapak ke tanah yang menandakan kalau seseorang  ini adalah manusia, jantungku tak bisa berhenti berdetak cepat. Justru semakin tak bisa dikendalikan.

Lelaki itu duduk di kursi. Matanya masih menatapku seolah menunggu jawaban dari pertanyaannya barusan. Tangannya dimasukan ke dalam saku jaket lalu kembali bertanya,

"Nunggu bis nomor berapa?"

"Eh—em—anu i—itu 167." Entah mengapa aku malah tergagap menjawab pertanyaanya. Beruntung, Sagara hanya mengangguk lalu beralih pada ponselnya.

Kembali aku melihat ke arah jalanan yang masih saja sepi, sementara langit sudah mulai menghitam. Lampu jalanan menyala dan aku semakin gelisah. Padahal ada seseorang yang berada di belakangku, tapi tetap saja aku takut.

"Duduk dulu, bisnya juga belum ada."

Aku menoleh, memastikan kalimat barusan yang terdengar berasal dari mulut Sagara. Siapa tahu aku terlalu berhalusinasi lalu tiba-tiba saja tidak ada seorang pun di belakang sana. Mengerikan. Tapi untungnya Sagara masih ada disana, menatapku dengan manik cokelat dan wajah dinginnya. Kenapa rasanya sama-sama mengerikan, ya?

Tak ingin terlalu memperlihatkan kalau aku sedang takut dan gelisah, kuturuti perkataan Sagara dan duduk disampingnya. Lelaki itu masih sibuk dengan ponselnya, dan aku tak berani melirik apa yang sedang dia kerjakan, tidak sopan. Aku lebih memilih untuk kembali menyibukan mata ini dengan melihat ke arah barat barang kali bis itu tiba.

"Soal permintaan aku barusan, beneran kamu nggak bisa buat keputusan sekarang?" pertanyaan Sagara membuatku menoleh, dia juga sedang menghadapku.

Dari jarak sedekat ini, baru kusadari semua pujian yang sering terdengar tentang ketampanannya memang nyata. Buru-buru aku membuang pandangan ke sembarang arah.

"Aku serius butuh banget bantuan kamu." sambungnya.

Teringat kembali saat Sgara menahan tanganku yang baru saja keluar dari ruang radio. Dia bahkan memanggilku penyiar Jelly padahal tak ada orang luar yang mengetahui panggilan itu kecuali teman dekatku karena memang baru hari pertama aku melakukan siaran langsung.

Dia meminta padaku untuk memberitahu siapa pengirim cerita yang baru saja kubacakan. Tentu saja aku tidak bisa, bukan hanya melanggar privasi tapi memang karena pengirim tidak mencantumkan nama aslinya alias anonim. Mustahil tim seleksi sekalipun mengetahui siapa yang mengirim cerita itu.

SAGARA :: forsyice [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang