Bagian 33

112 30 25
                                    

Kemenangan Sagara merupakan berita bahagia yang terus dibicarakan. Bukan hanya dilingkungan teman-teman sekolah, tapi mungkin semua orang yang melihat wajahnya menghiasi layar kaca dalam beberapa siaran. Ayah pun tak kalah memujinya, dia mengakatan kalau Sagara benar-benar luar biasa. Lelaki itu bukan hanya membanggakan diri dan keluarga tapi satu negara. Kalimat yang juga pernah kudengar sebelumnya dari penggemar lelaki itu.

"Kapan Sagara bisa main lagi kesini? Ayah mau kasih semangat langsung buat pahlawan negara." Mulai, ayah kadang sering menggungkan perumpamaan yang terdengar hiperbola.

"Rencanya sih dia—"

Tok . . tok . . tok . .

"Permisi." Mendengar ketukan pintu lalu ditimpali dengan suara Sagara membuat ayah langsung bangkit berdiri untuk menyambut tamunya. Biasanya dia selalu menyuruhku, tapi kali ini berbeda seolah kedatangan Sagara adalah sesuatu yang ditunggu.

"Selamat pagi, om."

Sagara tampak tidak terkejut saat ayah yang membukakan pintu. Mereka seperti sudah memiliki janji sebelumnya padahal benerapa menit yang lalu ayah masih bertanya kapan Sagara bisa meluangkan waktu untuk bisa ke rumah.

Ada yang berbeda dari penampilannya. Kemeja hitam lengan panjang yang digulung sampai batas sikut, rambut yang entah atas dasar alasan apa dia sisir membelah dua bagian memamerkan dahi putihnya, serta jeans panjang berwarna senada memperlihatkan betapa rapihnya lelaki ini. Kuyakin para penggermarnya pasti akan berteriak semakin histeris bahkan mungkin pingsan melihat Sagara. Jangan tanya bagaimana kondisiku, mata ini tak bisa lepas untuk terus menatapnya.

"Sagara, ayo masuk dulu." Ayah merangkul pundak Sahara dan mereka berdua duduk di ruang tamu.

Ayah memberikan kode lewat matanya untuk membuatkan minum. Aku mengangguk lalu berjalan ke dapur, seingatku masih ada teh celup dan beberapa biskuit. Kurasa itu cukup untuk cemilan pagi ini.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh dan masih bisa melihat mereka mengobrol, keduanya tampak begitu senang dengan saling melempar kalimat pujian. Apalagi ayah yang tidak peduli dengan titik komadan bertubi-tubi menyerang Sagara dengan kalimat manis dan penyemangat.

"Terima kasih om, tapi Sagara masih harus banyak belajar lagi dari pertandingan kemarin. Sempet ada cedera sedikit gara-gara salah tumpuan, untungnya sih nggak terlalu parah tapi tetap jadi bahas evaluasi."

Aku yang mengantar makanan dan menaruhnya diatas meja sontak terkejut. Ternyata Sagara nyaris cedera saat pertandingan kemarin? Kupikir semuanya baik-baik saja mengingat dia pun masih melayani sesi foto bersama dan tanda tangan serta naik ke atas podium juara satu dengan senyum yang mengembang.

"Kamu beneran nggak kenapa-napa?" tanyaku membuat lelaki itu menoleh.

"Nggak apa-apa, udah ditangani pihak medis bahkan sebelum naik podium."

Sagara kembali tersenyum sambil menggangguk seolah meyakinkanku kalau semuanya memang baik-baik saja.

"Habis ini masih ada pertandingan lagi?" pertanyaan ayah membuatnya kembali bercerita. Dia mengatakan kalau sekitar 2 minggu lagi akan berangkat ke Singapura untuk pertandingan berikutnya. Aku ingat Zoa pernah mengatakan soal World Champhion, apa dia akan berkeliling dunia dalam jangka waktu yang lama?

"Nggak kok om, World Champhion masih sekitar 4 bukan lagi. Ibarat ke Singapura itu buat pemanasannya." Jawab Sagara saat ditanya ayah soal pertandingan jangka panjang itu. Aku tak menyangka kalau ayah tahu juga soal itu.

Sekelas atlet internasional memang bebda. Dia melakukan pemanasan di luar negeri dengan pertandingan yang asli. Jika membandangkan kesana, Sagara sudah lebih sukses diusianya yang masih sangat muda. Jauh sekali denganku.

SAGARA :: forsyice [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang