Bagian 24

99 28 17
                                    

Suasana sekolah bahkan kelas menjadi berbeda setelah melebarnya kasus-kasus itu. Banyak orang yang jadi membenci Sagara namun tak sedikit pula yang masih membelanya termasuk aku. Tapi perlu ditegaskan disini, aku membantunya karena memang tahu kalau Sagara bukan orang yang seperti itu. Dia bukan psikopat yang banyak dibicarakan orang. Malah, dialah korban dari seorang psycho yang membuat mentalnya rusak berat karena ketakutan.

Aku juga jadi terus memikirkannya. Bagaimana cara membantunya untuk keluar dari jeratan mengerikan itu? Bagaimana aku membantu menemukan si pengirim ceritanya? Bagaimana jika semua itu gagal dan akhirnya dia tetap melakukan klarifikasi bersama Sonya dan trauma yang dia derita takkan kunjung membaik? Semua itu terus berputar didalam kepala, bahkan ayah sampai beberapa kali memergokiku tengah melamun dan selalu mengelak saat ditanya.

Teman kelasku sudah banyak yang menduduki kursi masing-masing. Tinggal 10 menit lagi menuju bel pelajaran pertama dan Sonya masih belum terlihat.

"Sonya kemana? Kok belum dateng?" tanyaku menepuk pelan bahu pada Zoa. Dia menoleh lalu menggeleng dengan raut wajah sedih.

"Kenapa? Dia nggak sekolah?"

"Enggak tahu, daritadi nggak—"

"HAH UNTUNG NGGAK TELAT!"

Suara teriakan seseorang membuatku menoleh, saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu, aku tersenyum. Jinan yang duduk disampingku sampai berlari ke arahnya, menanyakan kenapa bisa datang nyaris terlambat. Sonya yang kesusahan mengatur nafas hanya tersenyum menampakkan deretan giginya seolah tak bersalahan sudah membuat khawatir.

"Kok chat aku nggak kamu balas?" Protes Zoa yang kini terlihat kesal. Sudah seperti perempuan yang minta penjelasan pada pacarnya namun tetap berujung dengan pertengkaran. Bedanya, yang ini lebih menggemaskan.

"Aku bangun telat, jadi nggak sempet lihat hp hehe." Sonya menggoyang-goyangkan ponsel yang baru diambil dari dalam tasnya itu. Kuyakin, cengiran Sonya semakin membuat Zoa kesal.

Ting!

Ponselku bergetar dengan layar yang menyala. Terlihat nama yang mengirimkan sebuah pesan untukku, kak Esa. Tawa dan senyuman karena Sonya yang akhirnya datang ke sekolah, seketika luntur. Kubuka pesan itu.

"Istirahat nanti ke ruang radio ya, Jena."

Meski kalimat yang digunakan masih terbilang sopan, namun ada pemaksaan yang tersirat. Apalagi, tidak biasanya kak Esa menyita waktu makan siangku. Saat jadwal siaran saja, dia selalu mengatakan padaku untuk datang tidak terlalu cepat dan lebih baik mengisi perut sebelum membacakan cerita. Kuyakin pasti ada hubungannya dengan kejadian kemarin.

"Oke, kak." Balasku.

Guru bahasa Inggris di jam pertama sudah masuk ke dalam kelas, kami akan memulai pelajaran. Aku menarik nafas panjang. Masalah ini tidak boleh berkepanjangan apalagi merusak kegiatanku yang lainnya.

Kak Esa benar-benar menungguku di ruang radio. Dia bahkan membelikan satu piring nasi goreng lengkap dengan segelas jus jeruk yang katanya sengaja dipesan untukku. Inginnya aku menolak, namun kak Esa tampak takkan menerima itu dan lebih memilih memakan baksonya.

"Makan dulu, baru kita ngobrol."

"E—eh iya kak, terima kasih."

Hanya ada kami berdua didalam sini, terasa begitu canggung. Nasi goreng yang biasa kumakan dengan begitu lahap, kini terasa hambar. Bahkan sukar sekali turun dari tenggorokan ke perutku. Makan siang bersama kak Esa, tidak semenyenangkan dengan temanku yang lainnya.

SAGARA :: forsyice [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang