Bagian 15

105 35 2
                                    


"Sejauh mana kamu tahu tentang aku?"

Tanpa basa-basi Sagara menanyakan hal itu. Sonya tampak kebingungan dan sesekali mengernyitkan keningnya. Sementara aku berdiri mematung. Rasanya kaki ini menancap terpaku di atas lantai. Aku kehabisan kata-kata dan tidak bisa bergerak.

"Maksud kamu?"

"Seberapa banyak yang kamu tahu tentang masa laluku?"

Situasi menjadi semakin dingin. Sagara menangkap Sonya dengan matanya seolah tak membiarkan perempuan itu menghindar sedikit saja. Ia masih terlihat tanpa ekspresi, namun auranya kali ini benar-benar mengerikan.

"Kamu ngomong apasih? Kita kan udah temenan lama, ya jelas aku tahu—"

"Apa yang kamu tahu dari aku?" Potong Sagara dengan intonasi satu kali lebih tinggi membuatku terkejut dan ingin sekali bisa keluar dari ruangan ini. Namun melihat Sonya yang semakin kebingungan dan mencoba menahan air matanya, aku tak bisa meninggalkannya.

"Sagara maksud kamu itu—"

"Ngapain kamu kirim semua cerita itu ke radio sekolah?" Belum sempat Sonya menyelesaikan kalimatnya, lagi-lagi Sagara langsung memotongnya. Perempuan ini seperti tidak diberikan ruang sedikitpun dan terus didesak. Aku tak suka cara Sagara yang begini.

"K—kirim cerita ke radio sekolah? K—kamu tahu?" Kepanikan Sonya justru membuatku takut. Rasanya Sonya sudah tertangkap lalu akhirnya mengakui perbuatannya. Aku masih berkeyakinan kalau semua itu bukan dilakukan Sonya, tapi melihat gelagatnya hatiku terasa sakit dan harapan itu memudar.

"Berhenti kirim cerita lagi ke radio sekolah."

"T—tapi aku—"

"Dan lupain semua kejadian yang pernah kamu ingat. Tentang kita yang pernah jadi temen masa kecil, atau bahkan sekarang. Aku nggak mau punya temen yang ngusik kehidupan orang lain."

"Sagara, kenapa kamu bilang gitu? Aku—"

"Mas Sagara, sekarang waktunya pemeriksaan. Keluarganya boleh tunggu dulu diluar ya." Seorang perempuan berpakaian serba putih dengan buku di tangannya masuk ke dalam ruangan. Perawat itu menutup tirai yang mengelilingi ranjang Sagara, sementara dia berbaring dan menutup mata.

Sonya bergegas keluar dan akhirnya kakiku yang sedaritadi seolah membeku bisa kembali seperti semula. Aku mengejar perempuan itu dan akan mencoba untuk menenangkannya.

"Sonya, bentar tunggu dulu."

Berhasil kuraih tangan lalu membalikkan tubuhnya. Beberapa bulir air mata sudah meluncur dipipinya. Tangis yang sedaritadi ditahan, akhirnya runtuh juga.

"Kita bicarain disana ya." ucapku lalu menarik perlahan tangan Sonya untuk duduk di salah satu kursi kosong sebuah taman di rumah sakit ini. Jika banyak orang yang melihat Sonya menangis di koridor, pasti akan menimpulkan permasalahan yang lain.

"Mau minum dulu?"

"Ng—ngak usah."

Tangisannya berubah menjadi isakan. Sonya menutup wajah dengan kedua tangannya. Kupeluk dia lalu menepuk-nepuk pelan punggungnya. Sesekali aku mengusap rambut Sonya dan berucap lirih kalau dia tidak bersalah.

"Kenapa dia harus ngomong gitu ke aku? Malah sampai bilang nggak mau lagi temenan. Aku ngerasa nggak pernah ngusik hidup orang lain, tapi kenapa Sagara—"

30 menit yang kuusahakan untuk menangkan Sonya nyatanya tidak cukup. Dia selalu menangis lagi dan lagi saat membicarakan Sagara.

"Udah jangan dipikirin.Kondisi Sagara kan belum stabil. Dia pasti nggak maksud ngomong kayak gitu ke kamu."

SAGARA :: forsyice [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang