Bagian 2

300 49 9
                                    

Berhari-hari setelah kejadian itu, Zoa tidak mendapatkan apa yang dia harapkan. Pasalnya, orang-orang malah berasumsi yang lain-lain tentang dia dan juga Sagara. Beberapa dari mereka bahkan membicarakan kalau Zoa dan kembarannya itu adalah sepasang kekasih yang bertengkar beberapa hari lalu di taman sekolah.

Seperti sekarang, Zoa yang jelas terlihat muak harus berhadapan dengan segerombolan senior perempuan yang menghalangi jalannya saat menuju kantin sekolah. Tatapan mereka begitu tajam dengan tangan yang terlipat di depan dada semakin memperlihatkan kesan angkuh.

"Oh ini pacanya Sagara." ucapnya sembari melirik merendahkan saat melihat ke arah kami-mungkin lebih tepatnya Zoa-namun tanpa sadar malah aku yang ketakutan berlindung dibalik badannya.

"Saya bukan pacarnya, kak." balas Zoa. Kalimatnya memang sopan namun nada yang keluar dari mulutnya jelas terdengar kalau Zoa sudah malas harus menjelaskan itu pada orang lain. Tentang siapa dia, siapa Sagara, dan apa sebenarnya mereka.

"Kalo masih nggak percaya, tanyain aja langsung ke orangnya." seolah mampu membaca pikiran lewat ekspresi wajah, Zoa kembali berkata demikan. Tangannya menarikku untuk segera pergi menjauh. "Permisi." masih sempat Zoa menjunjung kesopanan lewat kata pemisi barusan padahal tatapan senior itu cukup menyeramkan.

Kami berdua duduk di salah satu meja kosong sembari menunggu Jinan yang masih sibuk dengan formulir pendaftaran ekstrakulikuler yang hingga detik ini belum dia putuskan, dan juga Sonya yang katanya memiliki urusan lain di ruang guru. Mataku diam-diam melirik ke arah Zoa, perempuan itu terlihat santai setelah kejadian barusan dan kali ini menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di kantin. Ingin rasanya memiliki keberanian seperti dia.

"Nggak usah lirik-lirik gitu, aku bukan Sagara." Merasa tertangkap basah, batagor yang tadinya masih ada di dalam mulut tiba-tiba saja terjun bebas ke tenggorokan. Buru-buru aku meminum es teh manis namun masih menyisakkan batuk kecil setelah tersedak.

"Pelan-pelan, nanti malah makin keselek." Aku mengganguk malu.

Setelah kondisi tenggorokanku mulai stabil dan terlihat Zoa juga sudah selesai dengan makanannya, kuberanikan untuk bicara, "K-kamu nggak takut ngadepin senior tadi?" Zoa mengernyitkan keningnya seolah pertanyaanku ini membingungkan.

"Emm-maksudnya mereka nyangkanya kamu sama Sagara pacaran, padahal aslinya nggak gitu. Mana tadi judes banget, galak, serem pokoknya." sambungku. Zoa tersenyum tipis lalu kembali menyeruput minumannya. Benar-benar terlihat tenang dan tidak takut sama sekali. Aku harus belajar banyak dari perempuan ini.

"Kalo kita ada di jalan yang bener, ngapain mesti takut walaupun lawannya lebih tua? Nggak ada istilahnya yang muda ngalah padahal yang tua salah. Kamu pasti tadi kaget, tapi tenang aja mereka nggak bakal berani ngapa-ngapain. Apalagi kalau beneran tahu aku siapanya Sagara. Kayaknya besok senior itu bakal sungkem sama aku. Udah tenang aja nggak usah dipikirin." jawabnya. Aku mengangguk dan tersenyum tipis menyetujui pembelajaran singkat dari Zoa.

Perkataannya memang benar. Kita tidak seharusnya takut pada kesalahan yang tidak diperbuat. Orang-orang yang berada diposisi sok benar, malah akan semakin besar kepala dan lupa dimana batasan kebenarannya. Semakin lama dibiarkan akan semakin menjadi penyakit hati, dimana dia takkan mau dinasehati karena merasa paling tahu dan benar.

"Aaaaaaaa pusing banget!" Jinan, perempuan yang sedaritadi ditunggu bahkan hingga makan siang kami berdua sudah habis, akhir tiba juga. Istiahat tinggal 15 menit lagi, dan Jinan baru datang ke kantin dengan kepala yang menunduk di atas meja.

"Kenapa?" tanyaku mencoba membuat Jinan bercerita. Perempuan itu menganggat kepala. Raut wajahnya tampak begitu lelah . Dia bahkan sampai menarik nafas panjang lalu menghelanya kasar bagai orang frustasi.

SAGARA :: forsyice [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang