16

5.7K 533 78
                                    

"Mas Genta tidak pulang?"

"Bukankah kamu istrinya?" 

Tidak mungkin kan papanya tidak tahu jika Genta juga memiliki istri di sana?

"Setelah satu tahun, menurut Papa wajar?" Sasa menatap papanya. 

"Satu tahun kemarin, kamu lebih butuh Papa, Sa. Sekarang dan untuk ke depannya Genta yang pantas mendampingi dan menjagamu juga Ufa."

"Papa mau ke mana?" 

Sanjaya meraih tangan putrinya. "Tidak akan ke mana-mana. Papa ingin selalu di sini melihat kamu bahagia."

Memeluk papanya, ibu satu anak itu berkata, "Sasa bukan satu-satunya mas Genta Pa. Bukan serakah tapi Sasa tidak mau menjadi jahat karena merebut suami orang."

"Genta hanya punya kamu Sa. Istri yang dinikahinya dikampung telah menggugat cerai Genta." Sanjaya menepuk sayang punggung putrinya. "Jadi istri yang baik. Papa mengenal Genta dengan baik."

Dalam pelukan sang papa Sasa menangis. Genta tidak mengatakan apapun padanya. Yang didengar Sasa hanya keinginan laki-laki itu kembali padanya. Bagaimana kehidupan Genta selama satu tahun ini Sasa tidak tahu.

Banyak tanya yang melintas di benak wanita itu. Salah satunya adalah, "Dia kembali karena mba Bulan sudah bercerai?"

"Genta bercerai tidak lama setelah kamu melahirkan. Karena keputusan kembali ke Jakarta, wanita itu menggugatnya." Sanjaya tersenyum. "Sepertinya dia jatuh cinta padamu lebih dulu."

Sasa menggeleng. "Kenapa Papa mempercayainya."

"Jika harus berbohong mungkin perusahaan papa sudah menjadi miliknya sekarang."

Sasa tidak menjawab lagi. Bukan benci pada Genta juga ibunya, tapi Sasa tidak ingin karena dirinya orang lain terluka. Walaupun dirinya sering terluka tidak apa karena Sasa punya papa.

Malam itu Sasa belum tidur, setelah menyusui dan menidurkan Ufa wanita itu menunggu Genta pulang. Sasa yakin jika Genta akan masuk ke kamarnya begitu pulang. 

Obrolan tadi pagi mungkin tidak akan disinggung, karena Sasa ingin mendengar hal yang sebenarnya dari laki-laki itu. 

Mata Sasa tidak bisa diajak kompromi. Dia mengatakan akan menunggu, tapi malah terlelap. Saat seseorang menepuk wajahnya wanita itu membuka mata dan melihat siapa yang datang.

"Menungguku?"

Sasa mengangguk. Kecupan lembut diberikan Genta di pipi istrinya. Sedang tidur saja Sasa sangat cantik. Pilihan Genta memang tepat selain cantik wanita itu sangat keibuan.

"Jam berapa?"

"1.30."

"Ke mana saja?"

Entah kenapa mendengar pertanyaan Sasa hati Genta menghangat. Benar, Sasa menunggunya. "Maaf," jawab Genta. 

Ketika Sasa bangun, Genta membantunya. "Sengaja pulang terlambat takut menganggumu."

Sasa melihat wajah Genta. Kali ini ia melihat dengan hati sehingga wanita itu tersenyum saat menemukan sesuatu. "Kenapa mba Bulan mengugat cerai Mas?"

Genta tidak terkejut. Lambat laun Sasa akan tahu dan tidak lama lagi wanita itu juga akan menyadari perasaannya, Genta hanya perlu sabar menunggu.

"Karena memilihmu."

"Aku serius," tegas Sasa namun dengan wajah tenang. 

"Kamu mau aku berbohong?" tanya Genta dengan wajah serius. Dia berkata jujur.

"Kenapa memilihku? Mas tahu aku tidak mencintai Mas, lagi pula Mas dan mba Bulan saling mencintai."

"Kehadiranmu dalam hidupmu memang dipaksakan tapi tidak dengan cintaku."

"Mas mencintai dua wanita sekaligus?"

"Kata siapa?" tanya Genta. "Jahat mungkin, tapi aku melakukan apa yang diinginkan hatiku."

Sasa bertanya lagi, "Bagaimana dengan hatiku?"

"Kamu menerimaku, Sa. Mas tahu."

Sasa berpikir benarkan dirinya menerima Genta? "Aku belum memutuskan."

"Bagaimana dengan ini?" jam rawan, mungkin Sasa tidak paham karena wanita itu memang polos. 

"Katakan rasanya," titah Genta setelah melepaskan bibir wanita itu. 

"Dadaku sesak. Jantungku berdebar."

Genta menarik wanita itu dalam dekapannya. "Bagaimana jika seperti ini, kamu nyaman?"

Sasa mengangguk dalam dekapan Genta. Genta jatuh cinta pada wanita sebaik dan setulus Sasa,  sejak awal ia tidak mempermasalahkan keadaan wanita itu hanya takut tidak bisa membuat anak atasannya bahagia.

Tidak lama Genta menyadari perasaannya, begitu Sasa kembali ke Jakarta saat itulah hatinya hampa. Bagaimanapun perhatiannya Bulan yang diinginkan Genta adalah Sasa. Ketulusan wanita itu telah mencuri hatinya. Genta telah membuktikannya.

"Boleh Mas mengganggumu?"

Sasa mengangguk. "Mas mau apa? Mau makan?"

Genta menggeleng. 

"Aku buatkan teh?"

Genta menggeleng lagi. 

"Terus mau apa?" 

"Mau kamu saja," jawab Genta.

"Ini aku di sini. Enggak ke mana-mana."

Genta gemas. "Ufa boleh punya adik?"

Apa? Sasa mengerjap. Pipinya merona. "Mas mau itu?"

Genta meneguk ludah. Kepalanya terasa berat. "Semuanya. Bukan itu saja."

"Memangnya boleh?"

"Aku suamimu, Sasa."

Sasa gugup. "Di sini?" 

Baiklah. Tentang itu Sasa memang masih polos tidak apa terjadi tawar menawar untuk meningkatkan kepekaan.

"Sasa maunya di mana?"

"Bagusnya di mana?" wanita itu melihat ke sekelilingnya. "Kalau di kasur, Ufa kebangun enggak?"

"Bisa jadi," jawab Genta Gemas. "Sofa itu boleh?" 

Sasa melihat sofa merah yang tak jauh dari tempat tidur. "Memangnya muat?"

Genta masih sabar. Perlahan dituntun Sasa ke sofa. "Coba dulu, kalau tidak muat pindah."

Sasa menurut, dan mengikuti langkah Genta. 

"Takut?"

Sasa mengangguk. "Anggap saja tidak," katanya jujur. Mungkin besok Sasa harus banyak menonton, ia benar-benar amatir dalam hal ini.

Dengan lembut, Genta menuntun wanita itu. Tidak buru-buru, Genta ingin Sasa hanya mengingat malam ini bersamanya tidak ada malam atau kenangan bersama lelaki lain meskipun ayah biologis Ufa.

Kecupan hangat dan lembut mengiringi malam itu, Genta memuja dan meminta Sasa ikut menyebut namanya ucapan cinta dan rindu disaksikan purnama malam pertama bagi mereka. Mahligai telah terbentuk dan sekali lagi Genta mengakui jika Sasa adalah wanita baik.

"Mas mencintaimu Sa."

Sasa mengangguk. "Ajari Sasa jatuh cinta sama Mas, ya?"

....

Aib Hamil Di luar nikah (Tamat Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang