4

4 2 0
                                    

Ayo yang penasaran sama Gilang, si ganteng...yuk kepoin terus ya disini
Vote n komen kamu ditunggu lho...biar makin semangat lanjutin nulis dan update nih...

Inara baru saja keluar kelas bersama Ayu dan menuju kantin untuk makan siang sambil menunggu kelas berikutnya. Rupanya mata Ayu sangat awas melihat orang cakep. "In, itu cowok yang sama cewek yang kemarin," dia menyenggol lengan Inara.

Inara menyipitkan mata karena kacamatanya hanya dipakai saat di kelas saja. Dilihat dari posturnya dia jelas mengenalnya dan baru jelas saat pemuda itu sudah mendekati dan tiba di depan mereka kali ini tanpa drafting tubenya. Meski posisi FIB bersebelahan dengan Fakultas Teknik, tapi agak aneh kalau pemuda itu tiba-tiba berkeliaran di FIB.

"Hai In," sapanya yang hanya dibalas dengan kata yang sama. Inara tidak peduli kode-kode yang diberikan Ayu dan justru siap berbalik arah keluar kantin. Jika kemarin dia muncul bersama Prita, kali ini lebih nekat muncul sendiri dengan segala konsekuensinya. Meski Inara tidak mungkin berbuat bodoh yang akan menarik perhatian, dia punya banyak cara untuk menghindari pemuda itu.

"Yu, sori gue lupa ada buku yang mau gue pinjam di perpus," Inara membuat alasan agar tidak berinteraksi dengan pemuda itu. Toh dia ada disini juga belum tentu ada keperluan denganku. Inara berjalan tergesa ke arah perpustakaan. Meninggalkan Ayu yang kebingungan dan Gilang yang kemudian dengan tenang mengikuti Inara tanpa sepengetahuan gadis itu.

Setelah menitipkan tas dalam loker, Inara segera menuju rak di mana tempat buku yang dicarinya. Dia mencari tempat duduk dulu untuk melihat isi buku itu sebelum meminjam untuk dibawa pulang. Ada beberapa buku yang harus dipilihnya saat tiba-tiba ponselnya di atas meja membunyikan notifikasi pesan. Inara membuka pesan dari Ayu, ternyata kelas berikut hari ini kosong. Inara makin tenggelam dalam buku-buku yang akan dipilihnya. Saat kursi di sebelah ditarikpun dia tidak mengalihkan perhatian dari salah satu karya Pramudya yang sedang dibaca blurbnya.

Dia mulai terganggu saat dua orang gadis di depannya berbisik-bisik sambil cekikian. Inara memang memilih meja besar untuk membaca, dan bukan di kubikel kecil yang sempit agar bisa meletakkan tumpukkan buku yang akan dipilihnya. Mereka apa tidak tahu kalau dilarang berisik di perpustakaan?

Akhirnya dia mengangkat kepala untuk menatap kedua gadis itu sebagai sindiran jika kelakuan mereka mengganggu dan kemudian menoleh pada sumber perhatian mereka yang berselisih satu kursi di deretan tempat duduknya. Seketika Inara tertegun dan senyum mengembang di wajah pemuda itu saat Inara menatapnya.

Inara berusaha tenang mencoba kembali konsentrasi pada tumpukkan buku untuk segera memilih dan pergi dari perpustakaan. Tapi dia mulai mempertimbangkan sikapnya. Buat apa aku bersikap menghindar? Dia harus tampak tidak terpengaruh dengan keberadaannya, meskipun seratus persen merasa terganggu. Ayo kita kuat-kuatan. Sampai sejauh mana elo kuat ganggu gue di perpustakaan ini.

Inara kembali ke rak untuk mencari beberapa buku lagi sebagai alternatif lain. Dari ekor mata bisa dia bisa melihat pemuda itu memperhatikannya. Apa maunya? Bahkan kehadirannya mulai mengundang perhatian beberapa gadis lain yang baru duduk di sekitar meja besar itu. Meski tidak bersuara, pandangan mereka tidak bisa berbohong. Siapa yang bisa melewatkan tatapan dari pemandangan bagus pemuda dengan tubuh atletis meski hanya setengah badannya yang muncul di atas meja, kulit sawo matang yang bersih, ditambah dengan rambut ikal agak gondrong. Di antara semuanya itu, yang paling menarik adalah wajah yang dilengkapi dengan hidung tinggi dan mata tajam, serta bibir yang tidak berhenti tertarik ke atas seolah mengajak semua orang tersenyum. Dengan penampilan kasual yang santai, sosok pemuda itu menjadi paket lengkap yang sayang untuk diabaikan. Inara menggelengkan kepala mengusir penilaian yang diam-diam dibuatnya sendiri.

Saat kembali ke tempat duduk, pemuda itu berdiri seperti akan menghampirinya membuat tatapan iri para gadis yang tadi meliriknya tetapi justru membuat Inara makin ingin lari dari tempat duduknya. Inara tidak ingin bertindak ceroboh dan memalukan. Sialan, gue jadi kalah kali ini. Dengan tenang dia memberesi barangnya, menggenggam ponselnya dan dua buah buku yang akan dipinjam untuk dibawa pulang. Sialnya pemuda itu melakukan hal yang sama tapi tanpa membawa buku untuk dipinjam.

Love that HealsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang