Bagian 8 | Hancur

210 24 3
                                    

Vera menghela napas, pandangannya masih fokus menatap jalan raya. Kini ia sedang dalam perjalan menuju kampusnya. Sejak keluarganua tahu tentang kondisi Vera, mereka tidak membiarkan Vera berpergian sendirian. Bahkan hampir saja tadi ia bolos kuliah karna Riga ingin Vera beristirahat lebih lama.

Vera sebenarnya masih tidak percaya jika dalam kandungannya ada sosok yang sedang tumbuh. Vera masih yakin jika ia sudah melakukan segalanya, lalu bagaimana bisa janin tetap berkembang baik. Vera bahkan sempat yakin jika ia bahkan tidak perlu melakukan semua itu karna saat kejadian menjijikan malam itu, Vera sangat yakin jika ia tidak dalam keadaan masa suburnya.

Ternyata tetap saja, seyakin apapun manusia, Tuhan yang menentukan segalanya.

Air matanya menetes, dengan cepat Vera menyekanya. Walau masih tidak terima tentang semua ini, Vera tetap harus menjalani kehidupannya.

Mobil yang Riga kendari ini tiba dengan selamat di depan fakultasnya, Vera langsung melepas seatbeltnya.

"Hati-hati, kamu cuma mau ngucapin perpisahan bentar kan. Abang tunggu di parkiran. Semua berkas cuti kamu udah kelar, jadi jangan lama-lama."

Vera hanya mengangguk pelan, memang niatnya hanya menyapa teman-temannya saja.

Keputusan Riga untuk pindah rumah dengan alasan menenangkan diri sudah disetujui Bunda mereka. Jadi percuma jika Vera bersuara. Padahal ia masih bisa kuliah asalkan perutnya tidak terlihat.

Vera melangkah memasuki gedung fakultasnya. Entah hanya perasaannya, atau memang semua orang sedang memperhatikan nya.

Vera menjadi tidak nyaman, akhirnya ia mempercepat langkahnya. Namun saat mendengar apa yang di katakan oleh sekelompok mahasiswa yang berkumpul di depan mading, langkah Vera berhenti mendadak. Tubuhnya gemetar seketika.

"Bener ya berita itu? Vera hamil di luar nikah? Iih, pantas aja dia nolak cowok-cowok ternyata udah ada isinya."

"Iya, ya. Mukanya aja keliatan polos, eh ternyata dalamnya gitu. Dih, murahan banget sih."

Jangtung Vera terasa berhenti berdetak. Siapa yang menyebarkan berita ini? Tidak ada yang tahu tentang kehamilan Vera, bahkan sabat-sahabat nya. Lalu bagaimana berita ini menyebar?

Vera ingin cepat -cepat menghilang dari sana, tapi kakinya tidak bisa digerakan.

Rasanya kakinya bagai jeli yang tak bisa lagi menopang bebas tubuhnya. Namun, saat ia hampir terjatuh, seseorang memegang bahunya dan membantunya pergi dari sana.

Vera sangat bersyukur saat Regan dengan cepat membawanya ke tempat yang sepi.

Regan memberikan sebotol air mineral pada Vera, lalu membantu Vera meminum.

Mereka hanya diam tanpa membicarakan apa-apa. Banyak yang ingin Regan tanyakan, tapi ia terlalu bingung untuk berucap. Hingga mereka tetap dalam keadaan hening sampai kedua sahabat Vera datang.

Fani dengan matanya yang berlinang air mata, dan Cara dengan pandangan marah.

Mereka juga tidak berucap apa-apa, tapi langsung memeluk Vera erat. Memberikan sisa kekuatan yang mereka punya, agar Vera dapat dengan tegar melewati semua ini.

Vera yang tadinya berusaha menahan air mata, akhirnya membiarkan semua tumpah rua. Tangis yang selama ini ia tahan. Perasaan baik-baik saja yang berusaha ia tampilkan. Nyatanya semua terlalu sulit ia lakukan. Nyatanya hatinya terlalu lemah.

"Maaf, gue ... gue tahu lo semua pasti jijik sama gue."

Cara melepas pelukannya lebih dulu, dengan mata penuh amarah, Cara menatap Vera. "Lo pikir kita ini apa? Kita udah kenal lama, Vera. Bukan sehari-dua hari, kita tahu sifat dan kelakuan lo. Dekat sama cowok aja gak pernah, yakali lo jadi perempuan maka tiba-tiba."

"Bener, gue yakin pasti lo korbannya. Siapa pria brengsek yang udah lukain sahabat gue ini? Bilang, Ver bakal gue bakar dia idup-idup."

Regan yang hanya menjadi pendengar menelan ludahnya, ketika mendemgar apa yang Fina ucapkan. Yah, walau hal itu memang setimpal dengan apa yang orang itu lakukan.

"Bener Ver, awalnya gue gak yakin sama berita itu. Tapi liat lo yang kayak gini bikin gue sakit hati, bilang aja siapa orang gila itu, bakal gue ancur idupnya."

Vera tersenyum dalam tangisnya, "Makasih, tapi kalian gak perlu lakuin apa-apa. Gue baik-baik aja kok, dan lagi gue gak mau berurusan lagi sama dia. Gue mungkin bahkan gak bisa liat wajah dia karna itu bakalan bikin gue sakit hati lagi. Gue udah janji bakal jalanin semuanya tampa harus mikirin apa yang akan gue lakuin sama cowok brengsek itu. Biarin aja, biar Tuhan yang ngebalas perbuatan bejatnya."

Fani memaki pelan, "Ver, bisa gak sih lo jangan terlalu baik. Orang kayak dia itu semakin lo baikin akan semakin ngelunjak. Gimana nanti ada korban-korban berikutnya, dianya gak akan pernah tobat."

"Gue tahu, tapi apa yang bakal kalian lakuin? Hajar dia sampe babak belur? Itu hanya akan buat kalian di jerat hukum. Atau ngelaporin sebagai kasus pemerkosaan? Gue yakin gak lama dia akan bebas."

Benar apa yang Vera katakan, hukum di negri ini kadang tidak adil. Kejahatan apapun yang di lakukan, jika punya banyak uang, semua pasti akan mudah. Kadang hal itulah yang membuat pelaku kejahatan bebas bertindak, karna bagi mereka semuanya terlalu mudah.

"Shit!" maki Cara. "Trus sekarang lo mau apa?"

Vera berusaha tersenyum lebar, untuk menegaskan pada teman-temannya, jika semua akan baik-baik saja.

"Gue bakalan pindah, awalnya gue cuma pengen cuti kuliah sampe lahiran. Tapi karna beritanya udah kesebar luar, gue gak yakin bakalan balik kuliah lagi, gue gak bisa nahan malu nantinya. Jadi mungkin bakalan berhenti kuliah."

Fani menggeleng, "Gak bisa gitu dong, lo mau ninggalin kita? Lagian gimana sama minpi lo, lo bakal lupain itu semua?"

Benar, mimpi yang sangat Vera dambakan. Perjuangan yang sudah ia lakukan, semua akan sia-sia. Keinginannya untuk membuktikan pada Ayahnya jika ia mampu hidup sukses tanpa sosok ayah di hidupnya. Sepertinya semua harus ia lupakan.

"Semua udah selesai."

"Ra, gak semudah itu. Usaha yang lo lakuin, semuanya?" Cara tak terima, tentu saja.

Vera hanya tersenyum kecil.

--

Selamat membaca, jangan lupa vote dan komennya. Terimakasih. Maaf kalau banyak typo

Because of You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang