Bagian 6 | Dia

4.8K 265 2
                                    

Sudah lewat beberapa hari. Vera masih berusaha bersikap semua hanyalah mimpi buruk yang tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Hari ini Vera ada jadwal kuliah pagi, jadi ia sudah harus bersiap sepagi mungkin agar tidak terlambat. Vera masih takut mengingat ia pernah di keluarkan hanya karna ia telat beberapa menit.

Dan di sinilah Vera berada, di ruang kelas yang baru diisi oleh beberapa mahasiswa. Waktu itu saat mengisi KRS alas semester kemarin, Vera terlambat mengisinya, alhasil sekarang ia tidak sekelas dengan kedua temannya itu. Keduanya sudah mengikuti kuliah ini kemarin jadi mungkin saja keduanya masih tidur sekarang.

Vera langsung memperbaiki posisi duduknya begitu dosen memasuki kelas. Padahal baru saja ia berniat mengganggu tidur temannya dengan melakukan panggilan video, tapi sudahlah.

--

Vera keluar dari kelas dengan kepalanya yang sudah sangat berat. Ia butuh memulihkan tenaganya sekarang. Dengan langkah gontai Vera berjalan pelan menuju kantin fakultasnya. Saat akan memasuki kantin, Vera langsung terdiam kaku di depan pintu pembatas. Pria itu, dia ada di sana. Entah untuk alasan apa, tangan Vera gemetar. Kepalanya yang tadinya penuh dengan materi dan tugas yang baru saja diberikan dosen, kini penuh dengan kejadian memuakan malam itu. Tiba-tiba tubuhnya bergetar, Vera merasa sakit yang amat sangat pada beberapa bagian tubuhnya.

Ini tidak mungkin, beberapa saat yang lalu ia baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang tubuhnya seakan sakit sekali. Bahkan untuk bergerak pergi dari tempanya berdiri saja Vera kesusahan. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. Vera mencoba mengatur napasnya, ia harus menenangkan detak jantungnya berdetak kencang.

Setelah lebih tenang, Vera langsung pergi dari sana sebelum pria itu menyadari keberadaan Vera.

Ini sungguh aneh, kenapa pria itu ada di sana. Mereka berbeda fakultas, dan itu adalah kantin fakultasnya, lalu bagaimana bisa pria itu datang jauh-jauh ke fakultas hanya untuk makan. Apa pria itu sengaja ingin membuat Vera resah dan sakit seperti ini?

"Cih, memalukan."

"Siapa yang memalukan?" Vera terkejut mendengar suara pria dari belakangnya. Regan berdiri di sana dengan senyum lebarnya.

"Ha? Ah, bukan apa-apa kok, lo ngapain disini? Tumben ngampus."

Regan tertawa, "Ya ampun, dibilang tumben. Gue ini rajin loh sebenarnya, Cuma ya gitu deh sibuk sama organisasi."

"Tahu gue juga, makanya gue nanya. Gak sibuk lagi lo?" Vera berjalan ke arah bangku yang ada di sana. Regan ikut mengikuti langkah Vera dan juga duduk di sana.

"Gak juga sih, lusa mau ke Jogja gue." Regan sebenarnya sudah tidak tahan mengikuti organisasi lagi, tapi jika ia tidak mengikutinya, kesempatannya untuk bertemu dengan kekasihnya sangat sedikit. Bukan tipe laki-laki yang tahan LDR lama-lama.

Vera mengangguk, "Cie bakalan ketemu pacar nih."

Regan tersenyum, "Ya, gitu deh. Oh ya Cara sama Fani mana? Kok gak keliatan biasanya kalian barengan?"

"Mereka belum datang, siang nanti baru kuliah mereka."

"Tumben kalian gak sekelas?"

Vera membuka tasnya, lalu mengambil ponselnya. "Yah gitu deh."

Melihat ponselnya sebenar, Vera kembali menatap Regan. "Udah makan lo?

Mendengar pertanyaan yang Vera ajukan, Regan langsung tersenyum cerah. "Napa, mau traktir ya? Hayuk." Regan langsung berdiri dan menarik Vera menuju motornya.

"Lah, gue gak ngomong gitu njir."

Regan tak menjawab dan terus menarik Vera ke arah parkiran di mana motornya berada. Akhirnya Vera hanya bisa pasrah.

--

Saat sampai di restoran terdekat, Vera langsung saja turun dari motor Regan. Melepas helm lalu memberikan kembali pada si pemilik.

"Ayo!" dengan semangat Regan menggandeng Vera memasuki restoran cepat saji itu. Vera sendiri hanya memutar bola matanya malas.

Di dalam restoran Regan memesan banyak makanan, Vera yang melihatnya saja hanya bisa menelan ludah. "Lo yakin bisa habisin ini?"

"Kan berdua sama lo, pasti abislah, lo kan kalau makan macam kuli." Vera tersenyum masam mendengar apa yang Regan ucapkan dengan wajah polosnya.

"Iya, terserah."

Sambil menunggu makanan yang di depan datang, Vera membuka ponselnya dan melihat apakah ada pesan yang masuk atau tidak. Ternyata ada satu pesan dari fani beberapa menit yang lalu, yang menanyakan di mana keberadaan Vera. Vera hanya menjawab dengan membagikan lokasinya saat ini.

Tak lama setelah pesan itu terkirim, makan yang mereka pesan akhirnya datang. Dan memang bnar, makanannya sangat banyak.

"Kalau gak abis, awas ya lo."

Regan mengangguk, "Tenang aja kalau sama gue mah."

Mereka akhirnya mulai menyantap makanan mereka, sampai sebuah tepukan mendarat di bahu Vera.

"Wih, jahat banget makan gak ngajak-ngajak."

Ternyata Fani dan Cara datang.

"Loh, kalian kok udah datang? Kuliahnya kan masih sejam lagi?" Vera bertanya, dia pikir saat Fani menanyakan posisinya tadi hanya untuk tahu saja.

"Lo gak cek grup kelas? Kelasnya di batalin." Cara menjawab kemudian duduk di sebelah Regan.

"Lah, trus ngapain disini kalau gak ada kelas?" Regan bertanya karna jelas tidak mengerti dengan pola pikir cewek-cewek ini.

Fani yang sudah duduk di samping Vera mengambil kentang yang ada di hadapan Regan lalu memakannya. Dengan mengunyah pelan, Fani menjawab. "Ngapain lagi, jalanlah. Udah make up capek-capek masa di apus gitu aja, buang-buang make up sama skincare gue aja."

Regan menggeleng pelan, "Ya salah sendiri masih satu jam baru mulai kuliah udah sibuk dandan."

Vera setuju, tak habis pikir dengan kedua temannya ini. "Iya juga, masih lama loh kalau sesuai jadwal."

Cara tersenyum, "Kita juga sekalian mau cari makan sebelum ke kampus, makanya siap-siapnya lebih awal."

Vera menggeleng, "ya gak gitu juga, emang di rumah gak ada makanan."

Mendengar apa yang Vera tanyakan Fani mendengkus sebal. Cara hanya tersenyum saja, karna dia sendiri di paksa Fani untuk makan di luar.

"Ya gimana mau betah makan di rumah, baru duduk udah di tanyain terus. Mau makan aja berasa di introgasi tahu."

Bukan rahasia lagi jika kedua orang tua Fani itu terlalu mengekangnya. Mereka memberikan beban berat di pundak anak mereka itu untuk menjadi kebanggaan bagi mereka. Sejak masih sekolah saja, Fani di paksa mengikuti berbagai les dan lomba hingga waktu istirahatnya berkurang. Mungkin masih bisa di terima jika alasan mereka adalah agar Fani menjadi anak yang baik dan cerdas. Tapi alasan sesungguhnya adalah agar mereka bisa dengan mudah memamerkan anak mereka pada banyak orang.

Saat tahu tenang hal ini, Vera sangat prihatin denganhidup Fani. Tapi selama ini Fani hanya diam saja dan tidak terlalumemusingkannya, ia hanya akan mempermasalahkan itu ketika mereka sudah mulaiberlebihan. Vera bersyukur Bundanya bukan tipe orang tua seperti itu. Bunda bahkantidak pernah memaksakan Vera untuk melakukan apapun

--

Update : 21-04-2019
Revisi : 30-03-2021

Pusing revisi skripsi, mending aku revisi ini aja😂

Because of You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang