Bagian 5 | Mimpi Buruk

5.4K 265 2
                                    

Vera mengerjapkan matanya pelan. Cahaya matahari yang muncul dari celah gorden menyilaukan matanya. Vera merasa matanya sembab, tubuhnya juga terasa lelah dan sakit pada beberapa bagian. Sebenarnya apa yang terjadi?

Dengan perlahan, Vera mencoba mendudukkan tubuhnya. Melihat sekeliling kamar yang berantakan, bahkan baju yang ia kenakan semalam berserakan di lantai kamar. Vera akhirnya menyadari satu hal. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan menimpanya, sesuatu yang bahkan tidak pernah Vera pikirkan.

Di sampingnya tidak ada siapa pun. Di saat itu, Vera masih coba berpositif, mungkinkah semalam hanya mimpi buruk?

Namun, ketika ia menyibakkan selimutnya, sesuatu yang tidak ia harapkan muncul di sana. Digigit bibir bawahnya pelan, ini bukan mimpi. Air matanya yang telah mengering, kini mengalir kembali. Kepalanya pusing sekali. Dalam benaknya, Vera bertanya-tanya. Kenapa, kenapa harus dia? Kenapa Tuhan begitu kejam memberikan ujian yang sangat berat.

Vera mencoba bangkit dari kasurnya, rasanya sakit sekali. Vera merasa kesulitan bergerak, akhirnya ia cuma bisa duduk kembali. Kepalanya mulai memutar kembali memori yang terjadi semalam. Tanpa bisa Vera kendalikan, napasnya semakin menjadi sesak, kepalanya pusing seketika. Dengan sekuat tenaga Vera mencoba untuk menahan dirinya agar tidak menangis saat itu juga. Ia mencoba menghentikan pikiran-pikiran aneh yang muncul dalam kepalanya.

Menghela napas pelan, Vera kembali mencoba bangkit berdiri. Berusaha menahan rasa sakitnya, Vera melangkah perlahan menuju kamar mandi miliknya. Tangannya dengan cepat menyalakan keran air, membiarkan tetes demi tetes air berjatuhan mengenai tubuhnya. Sebisa mungkin Vera mencoba membersihkan dirinya. Dengan kasar Vera menggosok tubuhnya yang ada bekas kemerahan. Sekali lagi, air matanya mengalir keluar. Setelah lelah, Vera akhirnya hanya bisa terduduk diam di bawah guyuran air yang membasahinya.

Ini masih sulit dipercaya, Vera masih sulit untuk menerima jika ini adalah kenyataan. Vera terlalu takut terhadap apa yang akan ia hadapi nantinya, ia belum siap dengan segala kemungkinan yang ada. Masa depanya, perjuangannya, mimpinya, semua bisa saja hancur jika hal yang tidak Vera harapkan terjadi. Ia sungguh ketakutan.

Vera bangkit dengan sisa kesedihannya. Mematikan keran air, Vera menyudahi aktivitas mandinya. Ia harus bergegas, takut jika Bunda dan Kakaknya pulang dan menemukan keadaannya yang seperti ini. Dengan cepat Vera keluar dari kamarnya, mengeringkan tubuhnya lalu memakai pakaian. Vera lanjut berkemas, membersihkan kamarnya terutama mengganti sprei lalu menyucinya dengan cepat.

Selesai berkemas, Vera langsung turun ke lantai bawah. Bertepatan dengan dirinya yang sampai di lantai dasar, keluarganya juga tiba di rumah. Bunda tersenyum lebar saat melihat Vera di depannya.

Bunda langsung datang memeluk Vera erat. "Duh, padahal Cuma gak ketemu semalam, tapi Bunda udah kangen banget sama kamu."

Riga yang mendengar apa yang Bundanya katakan hanya mampu menggeleng pelan, "Lebay banget, Bun." Ucapan Riga barusan hanya di balas lirikan tajam dari Bundanya.

Riga mendekat pada dua wanitanya yang berharga itu, kemudian dengan pelan mengelus rambut Vera, "Baik-baik aja kan?"

Vera hanya tersenyum kemudian mengangguk pelan, "Vera lapar."

Riga tertawa pelan, "Itu Bunda ada bawa banyak makanan."

Setelah berkata demikian, Riga langsung berjalan menujur ruang Tv untuk menonton acara pagi kesukaannya. Vera langsung menyusul Bundanya kedapur. Ia benar-benar lapar.

Vera duduk dengan manis di meja makan, Bundanya sendiri yang minta dan makanan Vera akan di persiapkan olehnya.

Vera sebenarnya sudah berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis, melihat bunda dan Riga yang memperlakukannya sebaik ini, apa tidak keterlaluan jika Vera menyakiti mereka dengan kejadian yang menimpanya? Bayangan Bundanya yang menangis dan Riga yang kecewa padanya membuat Vera tidak mampu menahan air matanya.

Dengan cepat vera mengusap air mata yang dengan kurang ajarnya mengalir di pipinya. Vera mencoba memasang senyum terbaiknya, berusaha agar dirinya terlihat baik-baik saja. Dengan lahap Vera memakan makanan yang dibawakan Bunda.

"Vera kuliahnya gimana?"

Vera terdiam, sendok yang ia arahkan ke mulutnya langsung terhenti saat ia mendengar pertanyaan yang baru saja Bundanya ajukan. Menenangkan dirinya sebentar, Vera akhirnya tersenyum tipis, "Baik-baik aja."

Bunda ikut tersenyum mendengar apa yang putrinya katakan, "Gak usah terlalu di paksain, kamu gak perlu jadi orang hebat untuk membahagiakan Bunda. Cukup jadi anak Bunda yang manis aja Bunda udah senang."

Vera menatap bundanya dengan sendu, ia teringat dengan ucapannya sendiri yang dengan yakinnya ingin mengalahkan saudara tirinya yang sangat di banggakan ayahnya. Vera yang saat itu berpikir jika ia pasti mampu untuk mendapatkan apa yang ia harapkan, kini merasa jika mimpinya sudah pupus.

Perkataan sombongnya beberapa tahun lalu ternyata menjadi boomerang pada dirinya sendiri, Vera seakan kalah telak. Perempuan itu pasti akan tertawa senang jika melihat penderitaan Vera dan keluarganya.

"Bunda Cuma gak mau kamu kecapean, kamu berhak loh menikmati masa kuliah kamu. Nongkrong sama temen-temen, main ke mana pun kamu mau. Jangan sibuk dengan masa depan yang bahkan masih abu-abu. Bunda Cuma mau kamu bahagia."

Vera masih terdiam. Melihat anaknya yang tidak menjawab apa pun, Tara berdiri dari duduknya, mengusap punggung Vera pelan, kemudian melangkah pergi dari sana, membiarkan anaknya makan dengan tenang.

--

Vera berbaring di kasurnya. Menenggelamkan wajahnya pada bantal tidur miliknya, Vera mencoba agar suara tangisnya tidak keluar. Pintu kamarnya sudah ia kunci rapat, dengan alasan mengantuk Vera akhirnya bisa melampiaskan rasa sesak yang sudah sejak tadi ia tahan. Bukan seperti Vera biasanya, Vera tidak terlalu suka tidur siang, tapi melihat wajah lelahnya akhirnya keluarganya tidak terlalu memusingkan sedikit perbedaan yang Vera tunjukan.

Vera merasa jika dirinyalah yang salah sepenuhnya. Jika saja ia mengunci pintu rumahnya, jika saja ia kabur secepatnya, atau jika saja ia berteriak atau melawan, pasti semua akan berbeda kan? Pasti hal mengerikan ini tidak terjadi padanya, pasti ia masih bisa bermimpi indah.

Vera berbaik, Ia menatap datar langit-langit kamarnya. Munafik jika ia bilang bisa melupakan semua itu dengan mudah. Nyatanya ia bahkan sulit untuk bergerak, ia ketakutan. Vera bahkan tak segan memukul kepalanya hanya mencoba untuk lupa. Tapi yang ada hanya pusing yang ia rasa. Vera ingin menjerit kencang, tapi ia tahu jika itu hanya percuma. Semua sudah terjadi. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya saat ini. Ia sudah terjebak ke dalam kegelapan, sulit untuk mencari setitik cahaya terang. Ia kehilangan arah.

Vera menangis, dadanya sesak. Tenggorokannya tercekat. Rasanya ia ingin mati saja, tapi ia takut. Ia takut Bundanya akan marah, ia takut Bunda sedih. Ia takut Bunda merasa kehilangan lagi. Vera jelas tau rasanya, dan dia tidak ingin bundanya merasakannya lagi.

Kini yang bisa ia lakukan hanyalah menangis, menangisi kebodohannya sendiri. Hingga pada akhirnya ia lelah hingga tertidur lelap.

---

Update : 03-03-2019

Revisi : 28-02-2021

Because of You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang