Bagian 10 | Bertahan

4.8K 280 7
                                    

Tubuhnya bergetar. Keringat sebesar biji jagung mengalir bebas melintasi wajahnya. Matanya masih tertutup rapat, terlalu erat. Bayangan mengerikan itu kembali muncul dalam mimpinya. Ingin membuka matapun Vera tak bisa. Rasanya mimpi itu ingin menyiksanya lebih lama dari biasanya. Vera tak kuat, akhirnya ia berteriak kencang hingga seisi rumah berlari menghampirinya. Ia terbangun dan duduk dengan napas yang sesak. Kepalanya sakit, tenggorokan juga.

"Vera, ada apa sayang?" tanya Bunda dengan wajah yang terlihat khawatir. Riga yang juga berada di sana langsung memeluk adik kecilnya. Hatinya hancur jika kembali mengingat apa yang Vera alami.

Ingatannya kembali pada saat mereka pertama kali pindah di sebuah rumah sederhana yang terletak di area pedesaan sebelum akhirnya pindah ke tempat ini. Saat itu, baru saja mereka tiba. Mereka sudah harus mendengar kabar buruk yang terjadi di sana. Seorang remaja yang di perkosa. Orang-orang di sana, bukannya menyalahkan pelaku, mereka malah menekan korban dengan melimpahkan semua kesalahan padanya, mengatakan jika remaja tersebutlah yang terlalu genit menggoda pelaku hingga melakukan hal tersebut. Padahal korban adalah remaja biasa yang sangat ceria, berteman dengan siapa saja dan tidak pernah melakukan hal aneh-aneh. Tapi tetap saja di salahkan. Hingga remaja tersebut tidak tahan dengan tekanan yang ia terima dan memilih mengakhiri hidupnya. Bahkan yang ia dengar remaja itu hampir saja di usir dari desa tersebut.

Mengingat hal itu, Riga benar-benar takut hal serupa terjadi pada Vera. Ia tidak akan sanggup kehilangan adiknya. Adiknya adalah dunianya, hidupnya. Begitu juga Bunda. Ia tidak akan sanggup kehilangan kedua perempuan berharga dalam hidupnya. Ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri jika hal itu terjadi.

Riga mengelus kepala Vera. Mencoba menenangkan adiknya itu. Bunda juga melakukan hal yang sama. Sedih sekali rasanya melihat nasib anaknya, tapi ia harus berusaha kuat agar anak anaknya dapat bertahan. Jika bukan ia, siapa lagi yang akan bisa. Mereka hanya punya Bunda. Tidak ada ayah dalam hidup mereka, jadi ia harus kuat menahan ini semua.

***
Vera memandang perkebunan di belakang rumahnya dari jendela kamar. Sudah seminggu mereka menetap sebelum beberapa kali berpindah tempat. Rumah ini cukup jauh dari rumah mereka sebelumnya, jadi sudah di pastikan akan sulit bertemu dengan orang yang mereka kenal.

Vera menunduk melihat perutnya. Di gigitnya bibir bawahnya pelan, dengan pandangan kosong Vera mengelus perutnya, sebelum tangan yang ia gunakan mengelus itu secara tiba-tiba meremas baju yang ia kenakan.

"Kenapa lo harus ada? Kalo lo gak ada hidup gue pasti baik-baik aja. Keluarga gue juga gak susah, pindah kesana kemari untuk ngilangin jejak. Karna lo kita seperti buronan. Kenapa lo gak mati saja?"

Entah apa yang Vera pikirkan, rasa simpati dalam dirinya sudah hilang entah kemana. Sedari awal ia memang tidak menginginkan kehadiran bayi ini, tidak bahkan Vera tidak menginginkan kejadian menjijkkan itu terjadi padanya.

"Gue salah apa sih, kenapa gue harus jalanin ini semua? Gak cukup hidup gue menderita karna gak punya Ayah, sekarang anak yang bakal gue lahiran juga akan bernasib sama?"

Vera tidak mengeluarkan air mata setetespun, ia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya menangis.

Menghela napas Vera berdiri dan berjalan menuju meja di kamarnya itu. Membuka laci, lalu mengambil pengaris besi yang ada disana. Vera hanya ingin membuktikan, jika ia masih manusia yang perasa atau tidak.

Diarahkan penggaris itu ke tangannya, mengoresnya perlahan hingga memerah. Vera tetap mengorenya hingga warna merah tersebut semakin kentara, tapi kenapa tidak ada sedikitpun rasa sakit yang ia rasakan.

Karna tidak merasakan apapun, Vera kembali meletakan pengaris tersebut lalu menggantinya dengan gunting yang sudah ada di depannya sejak tadi. Kembali ia melakukan hal yang sama ditempat yang sama juga, terus menggoresnya hingga darah segar keluar dari sana. Dan sama seperti sebelumnya, Vera tak merasakan apapun pada tangannya. Sebaliknya, dadanya yang sakit hingga ia kesulitan bernapas.

Gunting yang ia pegang sampai jatuh dari tangannya. Kedua tangannya berusaha untuk mereka jantungnya, tapi rasa sakit itu tidak hilang.

Bukannya meringis kesakitan, Vera malah tersenyum senang. Ya, ia masih normal kan?

***
Erga mengeluh ketika ia mendengar kabar Vera dan keluarganya sudah pergi tanpa jejak. Erga sudah menduga hal itu, sebenarnya ia tidak berniat mengancam Riga saat itu. Ia hanya tidak ingin menunjukan perasaannya

Rasa sakit yang ia rasakan ketika orang yang ia cintai pergi dan membencinya.

Erga hanya berusaha menjadikan gadis yang ia sukai sebagai miliknya. Memang cara yang ia lakukan salah, tapi ia sudah tidak bisa lagi memikirkan cara yang tepat. Rasanya ini hanyalah cara terakhir yang ia bisa.

Erga bahkan berusaha melakukan segala cara agar dapat membersihkan kembali nama Vera di kampusnya. Ia tidak ingin Vera di cap sebagai wanita murahan karna kesalahannya.

Erga juga berharap, saat ia dapat mengembalikan semuanya Riga dapat memaafkannya lalu mengijikan Erga untuk bertemu Vera.

Itu satu-satunya harapan Erga, untuk dapat bertemu Vera kembali. Ia tidak yakin ini akan berhasil, karna Erga sudah terlanjur di cap sebagai orang jahat untuk keluarga Vera.

Jika pada akhirnya semua tetap gagal, Erga hanya bisa menurunkan harga dirinya dan datang memohon seperti seorang pecundang.

***

08-03-2020
01-04-2021

Oh ya, jangan lupa vote dan comment nya kakak🙂

Because of You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang