I

1.1K 80 15
                                    

Senin pagi kediaman ketua RT Abdi Luhur di penuhi oleh suara radio butut yang menyiarkan musik gamelan dan sayup sayup kicauan burung perkutut yang bertengger di ranting pohon rambutan yang terletak di halaman depan.

Rumah ketua RT Abdi Luhur itu terlihat rapi dan mewah walaupun hanya memiliki satu lantai yang berhadapan langsung dengan halaman dan dikelilingi oleh pagar beton setinggi satu meter. Halaman yang hanya memiliki luas tak kurang dari 6 meter persegi itu di penuhi oleh berbagai macam tanaman empon empon yang di tanami oleh sang pemilik rumah.

Namun suara burung perkutut tersebut terkalahkan oleh teriakan nyaring sang anak pemilik rumah memanggil ayahnya. Hal itu telah menjadi sarapan sehari hari bagi tetangga sebelah rumah mereka yang hafal akan teriakan Jisung di pagi hari ntah itu sebuah nyanyian atau teriakan memanggil ayahnya

"Daddy! Gas kita habis! Kalau Daddy ga beliin gas, kita makan lauk garam aja!"

Brian yang tengah meminum kopi sembari mendengarkan radio sontak tersedak mendengar teriakan anak semata wayangnya. Ia bangkit dari duduknya sedikit membenarkan letak sarungnya dan segera menghampiri anak nya sebelum teriakan itu semakin menjadi jadi.

Setelah sampai di dapur yang hanya berukuran 3x5 meter yang terhubung langsung dengan ruang makan itu, netranya mendapati sang anak tengah terduduk di depan sebuah gas melon yang sudah tak tersambung dengan kompor.

"Ya Allah Jingga kenapa teriak teriak to? Masih pagi ini, ganggu tetangga nanti. Gas abis ya tinggal beli di warung Mbok Marni to, kayak orang kere ae. Iki duit, sana beli nanti kembaliane balikin ke bapak, sik cepet dah jam 6"

Jisung bangkit dari duduknya lantas menghampiri sang ayah, dengan senang hati ia menerima uang 50 ribuan pemberian ayahnya. Ia berbalik dan sebuah ide melintas di kepalanya, ia mengangkat gas kosong yang memiliki berat tak seberapa itu

"Astagfirullah dad, berat banget. Dad biar mempersingkat waktu, gimana kalo Daddy yang beli gas. Nanti Jingga di rumah bakal mandi, nah pas Daddy pulang dari warung Mbok Marni, Jingga dah siap pakai seragam tinggal masak"

Gas kosong yang sedari tadi dijinjing, Jisung letakkan dan dengan kecepatan kilat ia berlari menuju kamar mandi yang terletak hanya beberapa langkah dari dapur.

"Ya Allah Tole Jingga! Uange tadi mana?! Lah bocah pekok!

.
.
.
.

"Assalamualaikum ahli kubur. Widih, welcomenya tumben udah di depan pintu"

Welcome yang di maksud adalah keset merah kebanggaan kelas mereka, yang sering di ambil oleh kelas sebelah. Jisung memasuki kelasnya yang tak terasa telah ditempatinya selama 9 bulan, kakinya melangkah menuju bangku yang terletak di baris kedua dekat dengan jendela.

"Heh dapa kantin gas ga? Nanti gue traktir . Ga usah khawatir"

Mendengar derit kursi yang ditarik kebelakang dan di ikuti oleh suara yang sudah sangat ia kenal, pemuda berfreckless tersebut pun menoleh dan mengangkat tangannya memegang dahi Jisung.

"Ga panas, lo kesambet paan? Biasannya kembalian 50 perak aje lo tagih ke penjualnya. Lah ini sosoan nraktir"

Felix, pemuda berfreckless itu kembali melanjutkan aktivitas nya yang sempat tertunda akibat menanggapi ocehan teman tupai nya.

"Oh ya udah kalo ga mau. Gue abis dapet rejeki padahal"

Jisung mengeluarkan selembar uang 50 ribuan seraya bangkit dari duduknya. Namun netra kelam nya masih melirik ke arah Felix, dilihatnya pemuda keturunan Australia itu ikut berdiri dan menggandeng tangannya.

"Gas beb"

Mereka berjalan sembari membicarakan hal hal random yang menurut keduanya lucu. Setelah sampai di pintu kantin, mereka lantas memasuki area dalamnya dengan wajah polos khas anak kelas 10, netranya memandang ke arah kantin yang ternyata sudah sepi.

J I N G G A (Minsung) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang