Bandung, April 2016
"Teh, kenalin, si ijo"
Gilang menunjuk akar pohon nangka dekat selokan. Aku mengikuti arah telunjuknya dan kulihat seekor makhluk kenyal besar dengan kulit hijau lumut bergelembung-gelembung.
"Ari kamu ngapain melihara bangkong?" Aku sedikit berjengit melihat katak besar yang mukanya menyebalkan itu.
"Bukan melihara. Dia sendiri yang hobinya nongkrong depan rumah"
"Kok ga diusir?"
"Ngapain diusir? Kasian lah. Kita sekalian berbagi rumah"
"Iya deh iya" lagi-lagi, aku ga ngerti cara mikirnya.
Aku menggigit ujung es kacang hijau yang tadi aku dan Gilang beli dalam perjalanan kesini. Gilang menggeser pagar rumahnya dan mempersilahkanku masuk.
Rumahnya tak terlalu besar namun terlihat sangat nyaman. Halaman depannya yang kecil dipenuhi tanaman hias yang ditata di pot-pot kecil. Sangat asri.
"Masuk, teh"
Aku mengangguk sembari masih mengemut es kacang hijau.
Gilang mempersilahkanku duduk di ruang tamunya, sementara ia izin ke dapur untuk membuatkan es teh.
Tak lama kemudian, bocah kecil itu muncul lagi dengan segelas es teh. Ia berjalan dengan pelan-pelan, memastikan tehnya tak tumpah.
Aku yang sedang duduk di bangku kayu langsung bangkit dan meraih gelas dari tangan Gilang. "Cepet amat"
"Oiya dong, handal"
Aku memiringkan sebelah bibirku. "Sombong amat"
Aku meneguk es tehnya. Agak kemanisan, tapi tak apa. Nyegerin banget. Dipikir-pikir semenjak ketemu bocah ini, aku yang jarang minum es jadi sering nyoba-nyoba berbagai es. Mulai dari es kiko, es kacang hijau, es campur perempatan depan, sampai sekarang es teh. Padahal kenal juga baru sebulan.
Dari nyoba, aku jadi beneran suka. Lihat saja, es teh kemanisan bikinan Gilang langsung habis sekali teguk. Aku menaruh gelas kosong itu di meja.
"Ah seger banget"
"Pasti lah. Siapa dulu yang bikinnya"
Aku pasang ekspresi poker face, Gilang tiba-tiba megikutiku.
Aku menyandar dan selonjor. Gilang juga.
Kalau gak kenal dosa, udah aku tabok ni anak.
Tak sengaja aku melihat foto keluarga di hadapanku. Foto dengan 5 anggota di dalamnya, termasuk Gilang. Ia masih kecil sekali. Ada orang tuanya dan dua adik.. kembar?
"Eh kamu punya adik kembar?"
Gilang mengikuti pandangan mataku, "Oohhh iya, kenalin si Oca dan si Oci. Mau aku tunjukkin tapi lagi di rumah nenek"
"Ihh lucu bangett," aku masih memandangi foto keluarga yang terbingkai figura silver itu.
"Siapa dulu doongg kakanya"
Aku tak menghiraukan bocah kepedean itu, "kalau mamah kamu?"
"Apanya?"
"Dimana?"
"Ke rumah nenek juga"
"Lah"
"Lah kenapa?"
"Kok kamu disini?"
"Kan jadwal aku sama Teh Arin main"
Aku tertawa dibuatnya. Bisa-bisanya, kan. Memang sih hari-hari ini aku sibuk membolak-balik modul UN. Sampai-sampai aku hanya bisa janji ke Gilang untuk main di hari Sabtu pukul 1 siang. Sisanya jangan sampai datang ke rumahku atau bisa diusir oleh pak Dandi--ayahku yang galak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until One Day
RomanceArin, 20 tahun, seorang mahasiswi dan pecinta warna pastel. Tinggal di kos Mawar dengan tentram dan bahagia. Sampai suatu saat, bocah kecil datang lagi dari masa lalunya. "Teh Arin, kalo suatu saat nanti sampe suka sama aku, traktirin semur jengkol...