Tujuh | Belalang Goreng dan Sebuah Pengakuan

6 3 0
                                    

Suara seorang wanita dewasa dan seorang pria paruh baya yang membahas tentang sendal akupuntur mengisi ruangan keluargaku sejak setengah jam yang lalu. Aku yang dengan terpaksa menonton tayangan ini karena tidak mau kesepian menyuap sendok demi sendok sereal jagungku. Bosan.

Aku mengambil remote dan asal memencet-mencet semua saluran tv. FTV. Acara gosip. Acara prank. Home shopping. Oh, God.

Akhirnya aku matikan saja layar 28 inch itu. Hitam, sepi. Aku menyenderkan tubuhku di sofa dan melihat ke arah kamar Kak Tyas yang berada di seberang. Oh iya, ngomong-ngomong aku belum cerita, ya? Beberapa hari kemarin pengumuman SNMPTN, dan ya.. Kak Tyas si juara kelas sejak di kandungan itu keterima. Jurusan kedokteran di universitas ternama di kota Bandung. Tentu saja aku ikut senang, kecuali bagian ditinggal sendirian di rumah karena aku sekolah. Hampir lima hari mereka mengurus kelengkapan berkas dan kos Kak Tyas. Pertanyaanku adalah, mereka beneran sibuk apa liburan?

Lima hari berada di rumah sendirian, hanya ditemani acara home shopping seperti barusan. Atau terkadang instrumen piano kesukaanku dan suara kucing tetangga yang sedang cari pacar.

Sudah seminggu semenjak peristiwa kemah menyebalkan itu, berarti seminggu juga aku tidak main sama Gilang. Urusan Kak Bagas sudah clear--sebenarnya kuanggap clear saja--karena orangnya tidak pernah menggangguku lagi selama seminggu ini. Selamat. Tapi masalahnya si Gilang kini menghilang, bahkan melihat batang hidungnya pun tidak. Entah kenapa anak itu tiba-tiba marah padaku. Seminggu tanpa Gilang ternyata semembosankan itu.

Biasanya akhir pekan seperti ini dia sudah teriak ngajakin main depan rumah.

Hmmm, apa aku jemput saja ke rumahnya?

Ah enggak enggak. Nanti dia kegeeran lagi.

Hmmmm, oh iya!

***

Dengan sweater tidur dan celana teddy bear kedodoran aku siap menjemput anak itu.

Setelah sampai di tempat tujuan, aku menilik ke bagian tempat makan. benar saja, seorang remaja laki-laki yang sedang lahap menyantap nasi uduk itu duduk disana. Tanpa melihat wajahnya saja, aku bisa dengan cepat mengenali anak bocah yang kalau makan seperti gaada kata besok itu.

"Bu Eti, nasi uduk masih ada?"

"Masih, neng. Dibungkus apa makan disini?"

"Disini aja bu"

"Siap neng"

Taktikku berjalan mulus. Pura-pura beli nasi uduk biar gak ketara banget nyariin, hehe.

Aku mendekati Gilang dan mencari tempat duduk.

"Oi" aku menyenggol lengan kiri Gilang pelan.

Sebenarnya ini bukan taktik, sih. Tapi benar deh, tubuhku otomatis saja.

Namun yang disenggol hanya melirikku beberapa detik lalu lanjut makan

Dih?

Aku duduk di sampingnya. "Udahan dong marahnya, kan kita bestfriend"

Dah lah gas aja, masa bodo siapa yang salah siapa yang benar.

Gilang masih saja tak menghiraukan permintaan damaiku. Hadirku disitu seolah hanya warga asing yang tak dikenalnya. Oh, bahkan lebih parah? Warga asing pun biasanya masih ia sapa.

"Gilaaang!"

Yang dipanggil Gilang, yang nyamperin aku malah bu Eti.

"Ini neng"

Oke, aku menyerah. Makan nasi uduk dulu aja.

"Gilang jangan gitu tau"

"Aku kangen" tak sengaja aku bergumam sambil menyuapkan sendok demi sendok nasi uduk. Kesel, sih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Until One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang