IMMORTAL - thehunlulu

162 15 5
                                    

tw//mention of death and suicide

3 April 2021, 11:50 AM

Dasar pemalas.

Gemersak dedaunan kering tercipta kala Eric bangkit dari tidurnya; ia mendudukkan tubuhnya tegap, melihat ke sekeliling dan mendapati dirinya tengah berada di taman yang dikelilingi oleh pepohonan pinus dan bunga tulip yang baru mekar.

Ah, sial, dia ketiduran di tempat ini lagi.

Tak sampai ia benar-benar bangkit dan mengambil langkah, anjing tetangga tiba-tiba menyalak kencang hingga rantai yang ada di lehernya nyaris membuat si anjing tercekat. Eric mendengus kesal setelah memutar bola matanya jengah, kemudian dengan hati-hati ia melesakkan tangannya ke dalam saku celana dan melemparkan beberapa butir makanan anjing ke dalam kandang.

"Ck, kebiasaan," desah Eric sambil berlalu.

Pemuda dua puluh tahun itu menguntai langkah seakan-akan membelah kesunyian taman kota pada siang hari itu. Sambil bersiul pelan ia memainkan sepatunya hingga beradu gemeltuk dengan paving yang ada di bawahnya. Jauh beberapa meter di depannya, Eric dapat melihat jelas sang ayah yang sedang mencuci mobilnya di depan rumah. Lantas saja pemuda itu mengembangkan senyum dan mempercepat langkah untuk segera pulang dan—

"Jangan berisik, ibumu sedang tidur."

—mensiasati sebuah taktik agar ayahnya tidak kena omel ibunya lantaran terlalu berisik.

"Oke ... oke ..." timpal Eric menggunakan isyarat tangan.

Ketika ia memasuki ruang tamu, tahu-tahu ibunya sudah berada di dapur. Beliau menyiapkan makan siang dengan hati-hati sambil sesekali melantunkan lagu yang sangat familiar di telinga Eric. Ah, ibunya selalu seperti itu, kupingnya seakan tidak pernah bosan dengan melodi yang mengingatkannya pada hari ketika ia dilamar oleh sang suami kala itu.

Melihat ibunya yang kerepotan begitu tidak membuat Eric bergegas untuk membantu, pemuda itu alih-alih menghempaskan tubuhnya di atas sofa kemudian menatap kosong ke arah langit-langit.

Dasar anak durhaka.

Diam-diam ia terhanyut dalam pikirannya. Ia merasa hampa.

Sejemang ditolehkannya leher pemuda itu ke arah sang ibu. Sesungguhnya, di lubuk hati terdalamnya ia ingin sekali mengulurkan bantuan; menyiapkan peralatan makan, memindahkan sup rumput laut ke mangkok, mengiris lobak dan menatanya di atas piring kecil, atau bahkan menanyakan apakah ibunya tidur siang dengan baik hari ini.

Namun Eric urung, ia mengembuskan napas berat, agak lirih. Ia tidak sedekat itu dengan ibunya. Menatap wajahnya lekat-lekat saja Eric tidak sanggup, pemuda itu tidak ingin airmatanya lolos untuk kesekian kalinya ketika memandang wajah sang ibu yang sangat menyesakkan.

Ah, hampir saja ia menangis. Kini kedua pelupuk matanya tengah dibanjiri oleh airmata yang sebentar lagi akan merebak keluar. Ia buru-buru mengusap wajahnya gusar dan bergegas menyejajarkan tubuhnya dengan sang ibu di depan kompor.

Pemandangan yang sungguh menyesakkan.

Ibunya yang malang. Dengan kondisi penglihatan seperti itu pantas saja Eric merasa hari-harinya bagaikan samudra lepas tak berpenghuni; hampa dan dingin, yang sewaktu-waktu dapat memuntahkan ombak airmata lantaran hatinya mencelos setiap kali melihat kondisi sang ibu.

"Sayang, Eric sudah pulang, biarkan anak itu yang menyiapkan makan siangnya," ujar sang ayah yang baru saja memasuki rumah dengan pakaian yang setengah basah dan kanebo yang ada di tangannya.

"Ih, Ayah!" timpal Eric setengah berteriak ketika sang ayah memberitahu ibunya bahwa Eric telah memunculkan batang hidungnya di rumah. "Enggak mau, lebih baik aku pergi saja!" bentak laki-laki bersurai hitam legam itu sembari berkelakar pergi.

The B Anniversary Project: Walkin' in TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang