Amara Niskala Klandestin atau yang sering disapa Mara merupakan putri bungsu dari keluarga Klandestin. Ayahnya yang bernama Pramudya Klandestin merupakan seorang guru bahasa Indonesia di salah satu SMA swasta di Surabaya. Ibunya bernama Park Il Sa memiliki darah campuran Bali dari sang ibu dan Jeju dari sang ayah.
Mara juga memiliki seorang kakak laki-laki yang memiliki nama keluarga Park di dalamnya. Alasan Mara tidak menggunakan nama Park seperti sang kakak merupakan hasil musyawarah kedua orang tuanya. Dan ia tidak keberatan akan hal itu. Nama unik Mara berasal dari usulan ayahnya yang sangat menyukai sastra. Niskala yang berarti abstrak, dan Klandestin seperti nama belakang ayahnya merupakan nama yang diberikan oleh sang kakek.
Sudah bukan menjadi rahasia umum, jika pemberian marga seorang anak berasal dari keluarga sang ayah. Namun, karena Park Il Sa merupakan putri semata wayang. Maka Park Il Yoon, selaku ayah dari Park Il Sa berkeinginan untuk memberikan nama keluarganya kepada sang cucu nanti. Walaupun ini merupakan hal yang aneh menurut sebagian masyarakat.
Meskipun Pak Pram juga memiliki keinginan yang sama, tetapi ia tidak mempermasalahkan pemberian nama tersebut kepada putranya. Pengorbanannya tak sebanding jika dilihat dengan pegorbanan sang istri. Hingga akhirnya, setelah sembilan tahun Pak Pram diberi kesempatan untuk memberikan nama Klandestin kepada anak keduanya. Amara Niskala Klandestin, sebuah nama yang sangat ia pikirkan selama berhari-hari.
Mara memiliki bentuk wajah kecil dengan banyak rambut halus yang menghiasinya. Matanya cukup bulat seperti sang ayah, serta bibir kecil dan tipis. Sejak kecil Mara menyukai gaya rambut pendek sebahu dengan poni. Rambut hitam legam itu selalu tergerai, bahkan hampir tidak pernah dikucir. Alisnya hanya tebal di bagian tengah dan remang-remang di kedua belah sisi. Bulu matanya pendek sekali, dan sering dijadikan bahan ejekan sang kakak.
Kakak laki-laki Mara merupakan lulusan arsitektur di salah satu universitas di Surabaya. Ia mendapatkan minat dan bakatnya dalam dunia gambar sejak masih kecil. Menggambar berbagai bentuk bangunan di sore hari bersama sang ayah merupakan kegiatan yang tidak pernah terlewatkan. Bukan hanya bangunan, ia memang sangat senang menggambar apa pun, termasuk Mara. Ia sering menjahili Mara melalui gambarannya. Dengan menggambar bulatan besar sebagai mata, dan garis tipis sebagai alis dan bibirnya. Dan dengan sengaja melupakan detail bulu mata.
Park Il Yas, nama yang sering Mara ucapkan sejak kecil ketika ia sedang marah. Nama itu terbilang unik, karena sebenarnya itu bukanlah nama asli anak sulung di keluarga Klandestin. Setelah Bu Il Sa mengatakan keinginannya kepada Pak Pram, ia mengetahui jika suaminya ingin menamai anaknya kelak dengan nama Ilyasa. Dikarenakan nama di Korea hanya memiliki tiga suku kata, setelah berunding dengan hati yang saling terbuka, mereka memutuskan Park Il Ya menjadi nama putra pertama di keluarga Klandestin.
Alasan Mara memanggil sang kakak dengan nama Ilyas dikarenakan ia sering mendengar orang tuanya memanggil kakaknya dengan nama Ilyasa. Dan tanpa persetujuan siapa pun, Mara mengambil jalan tengah untuk memanggil sang kakak dengan nama Ilyas. Seiring berjalannya waktu, kedua orang tuanya juga ikut memanggilnya Ilyas. Jika memungkinkan orang asing untuk hadir, mungkin mereka tidak akan mengetahui jika Il Ya merupakan nama sebenarnya, bukannya Ilyas. Meski begitu, si pemilik nama sama sekali tidak keberatan. Menurutnya, apa pun panggilannya, tidak akan menghalangi kehidupannya.
Hubungan Mara dengan kakaknya terlihat jauh dari kata sibling goals. Ada saja hal sepele yang bisa membuat mereka bertengkar. Terutama Ilyas, sepertinya ia belum bisa merasa tenang jika belum membuat Mara menangis atau berteriak dalam satu hari. Baginya, teriakan dan tangisan Mara merupakan sumber energi tak terbatas yang mampu menambah daya kebahagiaannya. Meski begitu, mereka adalah saudara yang saling menyayangi dengan cara mereka sendiri.
Contohnya seperti Mara, ia akan merasa marah dan kesal jika ada orang lain yang mengejek kakaknya. Baginya, hanya Mara yang boleh mengejek kakaknya. Untuk urusan lain-lain seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah, Mara tidak dapat mengandalkan kakaknya. Mara lebih memilih bantuan sahabatnya daripada harus mendengarkan ceramah sang kakak.
Mara memiliki sahabat yang bernama Bena Birendra. Anak semata wayang pebisnis interior, Agung Birendra dan Ina Kusuma. Bena memiliki sikap yang lebih dewasa dibandingkan dengan anak seumurannya. Di hapadan orang tuanya, Bena sedikit kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya, dan cenderung pendiam. Namun, jika berada di samping Mara, ia merasa dapat menjadi dirinya sendiri. Menjadi seseorang yang dapat bertingkah jahil, tersenyum lebar dan tertawa, bahkan tidak ragu untuk berteriak dan menangis. Bagi Bena, Mara merupakan cahaya matahari yang Tuhan berikan padanya. Kehangatan Mara dan keluarganya mampu merangkul hatinya sampai ke titik terdalam.
Bena memiliki wajah yang bulat. Gaya rambut andalannya adalah sedikit berponi. Nama Bena sendiri berarti ombak, dan Birendra bermakna pemimpin. Kedua orang tuanya ingin jika Bena kelak menjadi pemimpin seperti ombak yang mampu menerjang segala rintangan. Ombak yang dapat dapat tahu kapan akan bersikap tenang dan juga garang. Meskipun begitu, ia akan selalu menjadi primadona tersendiri untuk siapa pun yang melihatnya.
Bena lahir di akhir musim hujan, tidak heran jika ia memiliki sikap seperti air. Mudah bergaul di mana pun ia berada. Bena juga sering ditunjuk sebagai pemimpin, dari pemimpin kelas atau pun kegiatan sekolah lainnya. Walaupun sekilas terlihat dingin, tetapi Bena merupakan sosok yang sangat ramah kepada sesama dan selalu menghormati orang yang lebih tua. Selain sikapnya yang memiliki predikat luar biasa, dalam hal pendidikan pun patut diacungi jempol. Sebab itu banyak orang mudah untuk menyukainya.
Sementara Mara yang lahir di awal musim panas, menjadikan kata Amara cocok bersanding menjadi namanya. Tetapi bukan untuk dikenal sebagai seorang yang memiliki amarah yang sangat besar. Amara sendiri digambarkan seperti api yang dapat bergejolak jika dibutuhkan, dan juga menghangatkan dengan indah. Walaupun seringkali ia tidak bisa menahan emosinya, terlebih jika sudah berhadapan dengan sang kakak. Menurut Bena, Mara memiliki kesabaran seperti tisu dibagi tiga. Terkena air pula.
Namun, jika disandingkan dengan Bena, diri Amara yang digambarkan sebagai api dapat ditenangkan. Sifat air dalam diri Bena rupanya mampu untuk menenangkan api dalam diri Mara. Dan sifat api dalam diri Mara juga dapat membantu mencuatkan gairah semangat dalam hidup Bena. Kedua elemen dalam diri mereka menjadikan keseimbangan yang mampu membuat mereka menjadi lebih baik lagi.
Ditambah mereka sudah bersama sejak keluarga Bena pindah ke Surabaya karena urusan bisnis. Saat itu usia Bena masih lima bulan, terpaut satu bulan lebih tua dari Mara. Sejak saat itu mereka menjadi tetangga, berteman, bermain, dan menjadi sahabat. Bahkan bersaudara.
(っ◔◡◔)っ💖
see u
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekaman Niskala
Fanfiction'Jangan terlalu memakai perasaan,' katanya. Hingga aku tersadar, perasaan itu tidak ada padanya. 'Aku menyukai hujan, tetapi tidak dengan awan hitam.' Ucapku seolah sedang berpillih kasih. Kemudian engkau menjawab, 'Bukankah awan hitam yang mengiri...