Di sudut ruang yang ramai, terlihat anak laki-laki yang sedang menaruh perhatiannya pada selembar kertas berisi daftar pemenang dari setiap perlombaan. Matanya sedang melihat satu per satu nama pemenang yang terlampir. Namun, sayangnya tidak ada nama yang ia kenal di sana. Lebih tepatnya, ia tidak melihat nama Mara bertengger menjadi juara pertama. Bena masih ragu untuk memasukkan nama sahabatnya di barisan kosong tersebut. Pasalnya banyak hal yang ia pertimbangkan saat ini. Terlebih dengan perkataan Hira waktu itu. Meskipun telah menerima lampu hijau dari sang pemilik, Bena merasa telah berlaku tak adil sebagai pemimpin.
Membuat keputusan seperti ini ternyata cukup sulit bagi Bena yang masih menyandang sebagai siswa kelas delapan. Di satu sisi mengharuskan ia menjadi pemimpin yang adil. Tetapi di sisi yang lain, ia juga mengkhawatirkan perkataan buruk yang akan menimpa teman sebangkunya. Meskipun Bena tahu jika ia tidak menobatkan Mara menjadi pemenang karena alasan pribadi. Namun, ada saja pihak yang membumbuinya sehingga terlihat lebih dramatis. Sungguh, Bena sedikit menyesal karena memaksa Mara untuk mengikuti perlombaan ini.
Terlalu pening untuk memikirkan hal tersebut, Bena beranjak dari tempatnya dan memberikan lembaran itu kepada temannya. Ia menyalurkan tanggung jawab sebagai pewara pemenang kepada siapa pun yang mau melakukannya. Bena juga menyerahkan semua keputusan mengenai kejuaraan satu perlombaan yang sangat mengganggunya. Bena hanya berpesan, jika ia tetap memilih Mara sebagai pemenang tanpa melibatkan urusan pribadi. Setelah memberi pernyataan itu, ia mengundurkan diri ke suatu tempat tanpa memberi tahu siapa pun.
Tatapan kosong dengan ratusan monolog telah menghantarkan Bena ke ujung lorong yang berada di gedung kelas tujuh lantai tiga. Ujung lorong yang menampilkan lalu lalang kota yang bersanding dengan rimbunnya gedung tinggi dan lebatnya hijau pohon terlihat indah di mata Bena. Ujung lorong yang dapat memperlihatkan gunung yang berada di seberang sana ketika cuaca sedang cerah. Dan yang paling menyenangkan ialah ujung lorong yang mampu menghambat gelombang suara dari eurofia yang terjadi di lapangan sana.
Sekitar sebelas menit Bena melamun di sana tanpa melakukan apa pun. Suara euforia juga terdengar samar, tetapi telinga Bena justru seakan memperkuat kemampuannya dalam menangkap informasi yang sebenarnya tidak mau ia tahu. Namun, ada hal aneh yang harus ia syukuri atau seharusnya tidak. Suara eurofia yang tidak lagi terdengar itu disebabkan terhalang jeritan para siswi pemilik kelas di sekitar ujung lorong tersebut. Beberapa kali Bena mendengar namanya disebut dengan nada tinggi yang berkepanjangan. Mungkin mereka terkejut atau merasa terganggu dengan kehadirannya. Namun, Bena berpikir ia hanya duduk diam tanpa melakukan apa pun.
Sampai akhirnya, telinga Bena semakin memperkuat kemampuannya hingga ia bisa menangkap apa yang disampaikan temannya dari pengeras suara tersebut. Bena tahu jika ada hal yang akan terjadi, tetapi sebenarnya ia juga tidak tahu jika hal ini yang akan terjadi. Pernyataan yang dilontarkan Hira sangat membuatnya terkejut. Sungguh, ia tidak habis pikir dengan jalan pikir rekan basketnya.
Dengan penuh segala jenis emosi, Bena berlari secepat yang ia bisa untuk menuruni anak tangga. Walaupun tergesa, ia masih sempat mengumpati keputusannya yang memilih untuk merenung di pojok lorong lantai tiga. Dan sekarang ia harus turun naik tangga untuk menemui teman sebangkunya yang ia duga tengah duduk santai sambil bersandar di dinding kelas.
Dan dugaannya benar. Dari luar kelas Bena sudah dapat melihat anak perempuan berambut pendek dengan poni itu sedang bersandar di pojok dinding sambil memegang sebuah buku. Tidak menghiraukan sekitaran, seperti ada yang menyumbat telinganya. Sehingga tidak ada satu gelombang suara yang menembus ke otaknya.
Sementara anak laki-laki yang telah berlari untuk menemuinya saat ini masih mengatur pernapasannya di depan kelas. Mulutnya terasa kering akibat terbuka lebar untuk mengambil asupan oksigen. Atau mungkin akibat mengumpat sambil berlari. Dengan napas yang masih memburu, Bena melaung di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekaman Niskala
Fanfiction'Jangan terlalu memakai perasaan,' katanya. Hingga aku tersadar, perasaan itu tidak ada padanya. 'Aku menyukai hujan, tetapi tidak dengan awan hitam.' Ucapku seolah sedang berpillih kasih. Kemudian engkau menjawab, 'Bukankah awan hitam yang mengiri...