2 - Permainan Malam Hari

102 6 5
                                    

Di suatu malam yang cukup berangin, serta ditemani lampu jalan yang semakin terang. Mara, Bena dan anak-anak seusianya sedang bermain rumah-rumahan layaknya orang dewasa. Entah ada masalah apa dengan Mara, sehingga ia selalu mendapatkan peran sebagai adik bungsu. Padahal Mara sangat ingin merasakan sesekali menjadi kakak yang disegani adik-adiknya.

"Ih, nggak adil! Masa aku jadi adik bungsu lagi? Aku mau jadi kakak!" berontak Mara kecil berbaju kuning bermotif bunga-bunga tak terima.

"Ya nggak bisa dong! Kamu itu yang paling kecil, harus mau jadi adek!" celetuk anak perempuan yang usianya dua tahun di atas Mara.

"Ini cuma pura-pura, aku juga mau jadi kakak! Masa nggak boleh?" jawabnya kekeh dengan alis yang sudah siap bertaut.

"Kalau nggak mau, ya sudah. Nggak usah ikut main. Gitu aja kok repot!" balas anak itu tak kalah ketus. Dan tanpa menunggu jawaban Mara, ia segera pergi dan berbincang dengan teman yang lain.

Mara merasa kesal dengan sikap anak tersebut, rasanya ia ingin menginjak kaki anak itu. Di otaknya saat ini hanya memikirkan bagaimana cara agar ia bisa menginjak kaki anak perempuan itu. Mata bulat itu mengamati dengan penuh kaki bersandal hijau tersebut.

Gerik yang ditampilkan Mara membuat Bena dengan mudah mengerti apa yang sedang Mara pikirkan. Tanpa menunggu lama, Bena segera bergerak sebelum terjadi kerusuhan di antara teman perempuannya seperti dua minggu lalu.

"Mara, enak banget kamu jadi adeknya lagi," ucap Bena seolah iri dengan peran yang Mara dapatkan.

"Ya nggak enak, lah! Apa enaknya jadi adek?" jawab Mara masih dengan rasa kesalnya.

Bena tidak terlihat panik atau tersulut emosi sedikit pun. Dengan sangat cepat Bena mampu memikirkan alasan lain untuk membujuk Mara. Membuat alasan-alasan seperti ini sangatlah mudah bagi Bena.

"Enak dong, kalau jadi adek pasti disayang kakaknya, kan?"

"Masa, sih? Tapi Bang Ilyas kok nggak sayang sama aku?" jawab Mara merembet ke hal lain.

"Eehm.." Bena berpikir sejanak sambil menyusun kalimat berikutnya. "Kalau jadi adek, apa yang kamu mau bakal dituruti," alih Bena dengan melipat kedua tangannya sambil tersenyum menampakkan raut meyakinkan.

"Nggak juga, kadang Bang Ilyas nggak mau bagi es krimnya berdua," sungguh, mata Mara masih fokus melihat kaki teman perempuannya.

"Itu kan Bang Ilyas, kalau ini ceritanya kita bakal sayaaang banget sama kamu," Bena menggenggam kedua lengan Mara, kemudian dengan cepat membalikkan badan Mara agar ia tidak menatap pada kaki anak itu lagi.

"Yakin? Bener, ya?" tanya Mara memastikan dan dijawab oleh Bena dengan anggukkan kepala. Rupanya cara itu berhasil membuat Mara melupakan niatnya dan bersedia untuk melanjutkan permainan.

"Oke, aku mau jadi adek. Tapi kalian harus sayang banget sama aku, ya!" tegas Mara menyetujui dengan sedikit memberikan syarat.

"Iya, pasti, dong! Ayo main!" jawab Bena sambil menawarkan tangannya untuk Mara genggam.

Baru saja ingin memulai permainan, sudah terdengar teriakkan dari seberang sana yang tak lain adalah suara Il Ya, tanpa menampakkan tubuh dan hanya suaranya saja yang menggema. Ia menyuruh Mara untuk pulang, dikarenakan jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Terlalu malam untuk anak seusia Mara dan Bena. Walaupun mereka hanya bermain di depan rumah.

"Maraaa, ayo pulang!" teriak Il Ya dari halaman rumah.

"Nanti duluuu," balas Mara ikut berteriak.

"Pulang atau Abang kunci pintunya?" ancam Il Ya setiap malam. Namun, Mara tidak pernah menghiraukannya. Mara tahu jika kakaknya mengatakan hal tersebut untuk menggertak saja, ia tidak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Tidak mungkin kakaknya mengunci pintu, jika tidak ingin kena marah sang ayah.

Rekaman NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang