.
.
.
Satu minggu kemudian..
Tuk Tuk Tuk
Suara ketukan sepatu Timberland yang masih tampak bersih dan baru menyusuri sebuah koridor. Sisi kanannya berjajar jendela dengan sinar matahari lembut menyorot langsung menembus di sela jendela. Sisi kirinya berjajar kamar-kamar dengan pintu-pintu yang tertutup, sebagian besar terkunci dari luar. Jungkook menenteng sebuah paper bag berisi tiga kotak makanan, berjalan seringan mungkin meski hatinya sedang gelisah dan ragu dengan apa yang dilakukannya saat ini.
Beberapa kali Jungkook menghembuskan nafasnya karena tegang. Ini bukan pertama kalinya ia menemui pasien rumah sakit jiwa. Bahkan ia sendiri yang menyembuhkan Jihoon dengan metode yang terpikirkan begitu saja. Sebut saja nekat. Cara itu juga yang Jungkook gunakan kali ini untuk menemui ibunya, ibu kandungnya, yang gila sejak kematian kakaknya Junghyun karena kecelakaan tunggal setelah menabraknya sebulan lalu.
Ditemani seorang perawat yang beberapa kali menoleh kearahnya yang jauh lebih tinggi, Jungkook dengan coat hitam panjangnya tampak sangat tampan dan berwibawa. Seketika perawat itu merasa bersyukur dipercaya untuk mengantar Jungkook menuju kamar ibunya. Sementara perawat lain hanya memandangnya iri, perawat yang menemani Jungkook meremat papan riwayat kondisi pasien dengan erat berpikir Jungkook gugup karenanya.
Keduanya tiba di depan sebuah kamar dengan sebuah celah persegi panjang berlapis kaca transparan di sisi pintu untuk memantau kondisi pasien. Jungkook menahan langkahnya di belakang sang perawat yang sibuk membuka kunci pintu kamar.
"Sejauh ini pasien tidak menunjukkan respon apapun selain tidur dan termenung. Beliau akan mengamuk jika melihat perawat pria yang masuk menemuinya kecuali dokter senior. Sepertinya pasien mengalami trauma berat pada anak muda. Jika pasien mengamuk, anda dapat menekan tombol. Kami akan segera datang."jelas sang perawat.
"Ne. Gamshahamnida."Jungkook membungkuk hormat, membiarkan perawat itu tersenyum semanis mungkin sebelum berlalu darinya.
Perlahan Jungkook membuka pintu kamar rawat salah satu rumah sakit jiwa terbaik di Korea itu. Matanya langsung di hadapkan dengan sosok ibunya yang terbaring dengan lelapnya. Jungkook merasa lega setidaknya ia punya waktu untuk melepas rindunya. Sekalipun ibunya menolaknya, dan meskipun ibunya dalam kondisi gila yang mungkin tidak akan ingat siapa dirinya tapi Jungkook tetap menyayangi dan sangat menghormati ibunya.
Bibir pucat tanpa riasan wajah sedikitpun, rambut yang sedikit berantakan karena tidak terawat, kantung mata yang menghitam pasti karena tidak tidur teratur. Jungkook beruntung ibunya tidak diikat seperti kebanyakan orang sakit jiwa kebanyakan. Ia meletakkan paper bag yang di bawanya di nakas. Jungkook menghela nafas menatap wajah sayu ibunya, mengingat semua yang terjadi padanya. Sejak kecil hingga detik ini selalu ada perbedaan antara dirinya dan mendiang kakaknya. Orang tuanya lebih menyukai kakaknya, tentu karena kakaknya lah pewaris utama keluarga. Sayangnya neneknya lebih memilihnya diantara mereka dan banyak sepupunya, sekalipun Jungkook sama sekali tidak menginginkan sepeserpun dari harta keluarga.
Mata Jungkook berkaca-kaca mengingat semuanya, ia sudah lupa rasanya pelukan hangat kedua orang tuanya. Ia merindukan mereka tapi ia harus mengurungkan niatnya. Perlahan tangan Jungkook mengusap kening ibunya, sejahat apapun sikap ibunya padanya, wanita rapuh di depannya ini tetaplah ibunya. Sentuhan lembut tangan dingin Jungkook membuatnya mengerjap, nyonya Jeon menatap Jungkook datar.
"Eomma, aku datang."Jungkook tersenyum.
Tatapan nyonya Jeon perlahan berubah menjadi tatapan takjub, perlahan ia bergerak mendudukkan dirinya. Tentu Jungkook membantunya hingga ia bersandar sepenuhnya, bahkan selama bergerak nyonya Jeon memperhatikan setiap inchi pergerakan Jungkook. Tangan nyonya Jeon menyentuh pipi kiri Jungkook dan membuat keduanya terdiam sesaat.
YOU ARE READING
Mirror [Part 2]
FanfictionHaruskah kita berhenti disini? Sequel of Mirror. Basic story : Brothership