19

6.3K 722 135
                                    

Jiang Cheng membuka matanya perlahan. Ia menghalangi cahaya yang masuk dengan tangannya. Kedua tangannya ia regangkan ke atas, kemudian meraba sisi lain tempat tidurnya. Kosong.. dingin.. Jangan bilang Lan Xichen tidak tidur di kamar semalam.

“Apa dia masih marah? Hah.. jam berapa sekarang?” Jiang Cheng dengan malasnya bangun dari posisi tidurnya menjadi duduk bersandar. Jari-jari lentiknya mengusap matanya untuk menghilangkan belek dari sudut matanya.

“SHIT! JAM 9 PAGI?” Pantas saja dia tidak menemukan Lan Xichen di sampingnya, di tambah kasurnya bahkan sudah dingin. Astaga Jiang Cheng, apa yang sebenarnya kau lakukan hingga sampai kesiangan seperti ini. Jiang Cheng melihat ke arah jendela dengan tirai yang terbuka, langit masih sedikit gelap seperti jam 6 pagi.

“Ah.. bagaimana bisa aku lupa jika sekarang musim dingin.” Jiang Cheng lagi-lagi merutuki kebodohannya, ia menjambak rambutnya frustasi.

“Bagaimana ini Embul, lenyap sudah jatah ayam kita.” Persetan dengan uang bulanan di potong. Jatah Chicken Wingnya berada diujung tanduk. Tidak bisa dibiarkan, ia tidak bisa menahan hasrat untuk memakan chicken wings ini. Lebih buruknya lagi, Jiang Cheng tidak punya tetangga. Jadi dia tidak bisa maling ayam tetangga buat dimasak. Mau malingpun Wei Wuxian sudah tidak bersamanya lagi, siapa yang akan ia tumbalkan atas penyelundupan ayam kampung. Jiang Cheng mengentak-hentakkan kedua kakinya di kasur dengan posisi duduk, ia menggigit bibirnya merasa cemas. Dengan kekuatan ratu pantai selatan Jiang Cheng menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang dengan perlahan-lahan sambil memegangi perutnya. Baru saja ia membuka pintu kamar, penciumannya langsung disambut oleh aroma roti panggang.

“Eh dia tidak bekerja?” Jiang Cheng mengintip dari pintu kamarnya dan melihat Lan Xichen yang sedang sibuk memanggang roti dengan pakaian santainya. Sengaja Lan Xichen bikin sarapannya roti panggang. Buat ngetes Embul, tentang kesepakatan yang sudah dibuat. Seorang pria tentu harus menepati janjinya kan. Jiang Cheng mengusap sudut bibirnya ketika mencium aroma telur dan bacon yang di goreng. Ahhh.. Embul lapar. Tapi ia takut jika Lan Xichen masih marah dengannya, alhasil ia hanya bisa menghirup aroma masakan Lan Xichen sebagai hidangan utama.

Jiang Cheng menarik napas panjang dan mengusap perutnya. Tidak bisa seperti ini, Jiang Cheng harus memenangkan haknya. Ini demi Embul.

“Demi chicken wing.” Jiang Cheng mengepalkan tangganya ke udara memberikan semangat untuk dirinya sendiri. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka menghilangkan kerak sungai di wajahnya. Tenang saja, kemampuannya hanya bisa membuat kerak sungai, berbeda dengan Wei Wuxian yang bisa membuat 34 pulau di bantalnya. Ah benar, ia tidak boleh lupa menggosok gigi dan memastikan tidak ada jigong yang menempel sedikitpun. Ia bercermin sambil mengelap wajahnya.

“Lan Huan aku minta maaf.” Jiang Cheng mengeryit merasa aneh ketika ia mulai berimprovisasi di depan cermin.

“Tidak, itu terlalu murahan.” Ucapnya di detik berikutnya.

“Lan Huan belikan aku ayam!” Kali ini Jiang Cheng menunjuk bayangannya sendiri di cermin dengan wajah khas tukang palak.

“Itu terlalu memaksa.” Jiang Cheng menggelengkan kepalanya.

“Belikan aku ayam atau ku bunuh!” Jiang Cheng menodongkan sikat giginya pada bayangannya di cermin.

“Ah... terlalu kejam, aku bukan titisan nyai blorong.”

“Okay, sekali lagi.” Jiang Cheng berdehem dan memandang lekat-lekat wajahnya. Ia meregangkan otot-otot di wajahnya.

“La-Lan Huan.. I-I Love kyaaa... aku tidak bisa.” Jiang Cheng menutupi wajahnya sendiri yang sudah memerah padam sambil menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

My Unique FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang