Bab 26

12 7 8
                                    

Langit memang indah, tapi sifat harus tetap membumi.

Kamu juga indah, tapi sayang nempelnya sana sini. – Wildan Alamsyah (Se(n)iman)

___

"Ngapain dia nelpon gue lagi?" monolog Ilham kala ponselnya menampilkan nama Lusi sebagai si penelepon. "Angkat enggak ya?" sambung Ilham pada diri sendiri. Ilham menghela napasnya kasar dan membiarkan ponselnya terus menyala dan bergetar.

Ia pun bangkit dari kasurnya dan berjalan pelan menuju meja belajarnya yang sudah beberapa saat ini belum ia jamah. Ilham pun mengambil buku yang berjudul Se(n)iman karya Wildan alamsyah, salah satu penulis favoritenya.

Langit memang indah, tapi sifat harus tetap membumi.

Kamu juga indah, tapi sayang nempelnya sana sini.

Bibir Ilham tersungging kala matanya membaca kutipan tersebut. "Hm," hembus Ilham dengan senyuman yang masih terpatri. Tangan Ilham pun membuka lembaran - lembaran selanjutnya, matanya pun masih senang dengan untaian kata yang diproduksi oleh Wildan tersebut. Setelah puas membaca beberapa bab dari buku tersebut, Ilham pun mengambil selembar kertas dan mencoret-coret kertasnya dengan pena yang sudah dia genggam.

(I)lusi

Rupanya indah bak sebuah bianglala dalam nabastala.

Apalagi, senyumannya yang bisa memikat para pemuda

Sayang, dirinya sudah berpunya.

Ilham tersenyum tipis dan menutup kertas tersebut, setelahnya ia bangkit dan hendak berjalan keluar kamar guna menghirup udara segar. Ia pun menuruni tangganya dengan sangat pelan, sebab tak ingin mengganggu anggota keluarganya yang lain.

"Aman," monolog Ilham kala sudah diambang pintu utama rumahnya itu, ia pun berjalan ke arah motornya yang belum dimasukan ke dalam garasi. Tanpa basa basi ia pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang, ia sangat-sangat menikmati angin malam yang selalu menjadi penenangnya.

Motor Ilham berbelok ke arah taman yang sepertinya terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang dan penjual makanan yang senantiasa berada di tempat ini. Ilham pun berjalan pelan, ke kursi putih yang menjadi saksi kisah cintanya pada Lusi. Kursi yang menurut Ilham akan sangat-sangat bersejarah.

"Ilham?" Ilham yang sedang menutup matanya, menikmati hembusan angin pun membuka mata dan menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya, kala Lusi yang berada disampingnya dengan raut wajah sendu. Lusi pun duduk disebelah Ilham yang membuat Ilham berdiri dari posisi yang semula.

"Ham," panggil Lusi kala Ilham hendak berjalan meninggalkan Lusi.

Ilham menghela nafasnya, lelah. Ia tak menyangka bahwasannya Lusi akan kembali hadir kedalam jangkauannya, setelah beberapa bulan ia mengejar dan Lusi selalu menghindar. Dan ia datang ke sini, ke taman ini, guna untuk melepaskan Lusi dan berusaha untuk berhenti mencintai Lusi, namun lagi-lagi Lusi selalu menggagalkan rencana itu.

Ilham pun berbalik badan, menanggapi saapan Lusi. "Iya?" ucap Ilham dengan tersenyum.

Lusi mengalihkan tatapannya, kala melihat senyuman Ilham, senyuman yang entah bagaimana selalu membuat hatinya berdetup kencang. "Gue mau minta maaf," ujar Lusi pada Ilham. Ilham menatap Lusi dengan sendu.

Dengan tanpa sadar, Ilham pun menempelkan tangannya pada bahu Lusi. "Iya enggak papa," ujar Ilham serta mengusap-ngusap bahu Lusi.

"Ternyata lo disini," ujar seseorang yang baru saja datang dari arah belakang dengan membawa sebotol minuman. Lusi dan Ilham yang sedang bertatapan pun mengalihkan pandangannya. "Nih minumannya," ujar seseorang itu serta menyodorkan botol yang dia pegang.

"Eh, Ham," sapanya kala maniknya menangkap sesosok orang pemuda yang sedang berada di samping Lusi.

Ilham tersenyum menanggapinya. "Gue pamit dulu ya Lus Bro," ujar Ilham serta menganggukan kepalanya.

"Lo 'kan udah tahu alasan gue dan Lusi itu kenapa jadi bisa bersama gini?" ujar Brandon. Seseorang yang tadi menghampiri Ilham dan Lusi itu yakni Brandon. Sosok sahabat Ilham yang paling perhatian. Langkah Ilham seketika terdiam kala ucapan Brandon. "Gue harap lo mengerti dan enggak menjauhi kami," ucap Brandon dengan tenang.

Ilham membalikan badannya dan menatap Lusi dan Brandon dengan seksama kemudian Ilham tersenyum tipis. "Gue selalu berusaha menghargai keputusan lo Bro. Mengikuti saran lo untuk tidak menghubungi Lusi lagi, dan lo mengharapkan gue untuk mengerti? Situ paham situasi enggak?" tanya Ilham.

Brandon menganggukan kepalanya paham. "Kalau lo paham, kenapa menghindarin gue dan Lusi? Seakan – akan gue ini merebut Lusi," ujar Brandon. Ilham menghela napasnya lelah.

"Lo pikir gue enggak punya hati gitu?" tanya Ilham dengan menaikkan sedikit nadanya. "Lo pikir enggak sakit gitu, ngeliat orang yang kita sukai malah bersanding dengan sahabat sendiri," sambung Ilham. Brandon diam seketika, Ia tidak pernah melihat Ilham semarah ini.

"Udah Bro. Jangan diterusin," ujar Lusi serta menggenggam tangan Brandon. Seketika Ilham mengalihkan pandangannya ke depan, melihat langit malam yang senantiasa selalu menenangkannya. "Sekali lagi gue minta maaf Ham. Karena gue persahabatan lo jadi gini," sambung Lusi dengan menatap Ilham. "Gue sama Brandon pamit pulang. Sorry juga udah ganggu ketenangan lo," sambung Lusi serta pamit meninggalkan Ilham.

"Gue harap lo enggak membenci kita. Jangan kekanak – kanakan Ham," lirih Brandon kala badannya berhadapan dengan Ilham. "Semoga bisa," jawab Ilham serta menatap mata tajam Brandon dan Brandon pun menganggukan kepalanya serta menepuk pundak Ilham.

"Semoga bahagia bersama sahabat gue Lus."

(I)Lusi (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang