"Selalu mikirin perasaan temen. Selalu gak enakan sama temen. Nyatanya mereka seenaknya aja. Kadang kita demi temen tapi temen demikian."
—Hazel Alison.
🔆Malam baru dimulai dan Harlan masih setia berkutat dengan rumus rumus fisika yang tidak semua orang akan mengerti bagaimana penerapannya dikehidupan sehari-hari. Seperti menghitung berapa kecepatan jatuhnya apel dari pohon misalnya.
Harlan sampai saat ini juga tidak begitu paham. Kenapa harus menghitung kecepatannya ketika ia bisa langsung memungutnya untuk dimakan? Dunia memang penuh teka-teki.
Jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Sesuai yang telah disepakati oleh Papa tadi kalau Harlan boleh pergi setelah ia menyelesaikan belajarnya. Maka tidak butuh waktu lama bagi Harlan untuk melangkah pergi ke tempat dimana ia bisa sendirian. Harlan menyebutnya me time. Terkadang hanya melihat banyak orang disekelilingnya membuat Harlan lelah batin maupun fisik.
Setelah sebelumnya membeli satu minuman kaleng, Harlan lantas duduk dipinggiran sungai sembari mengamati arus air yang tenang. Harlan berharap dengan melihat sungai semua beban pikirannya bisa ikut terbawa oleh arus air dan tidak akan kembali.
"Yo." panggilan mendadak disertai tepukan dibahu membuat Harlan terkejut. Orang itu Hazel. Datang tiba-tiba entah darimana lalu ikut duduk disebelah Harlan seolah mereka sudah ada janji akan bertemu.
"Ngapain lo? Ngikutin gue?" Harlan bertanya malas. Menghempaskan tangan Hazel yang masih setia menyentuh pundaknya.
"Kebetulan."
Lalu hanya dengan begitu mereka duduk bersama dan secara sadar Harlan malah membiarkan orang asing menganggu waktu me time-nya. Entahlah, hanya saja Harlan merasa terlalu malas untuk sekedar marah marah atau mengusir paksa Hazel dari sampingnya. Lagipula sungai ini terbuka untuk umum, siapa saja bisa datang kesini sesuka hati kecuali fakta kalau Hazel bukannya mencari tempat lain tapi justru sengaja mendekatinya.
Kebetulan bukan jawaban yang tepat.
"Mungkin ini udah telat banget tapi gue akan tetep bilang... Maaf buat waktu itu." kerutan didahi Harlan perlahan menghilang begitu ingat arti kata maaf Hazel.
"Lo gak ada hak buat minta maaf ke gue. Urusan lo sama Cilla. Minta maaf sama dia." Harlan berujar dingin.
"Udah, Cilla udah maafin gue. Sekarang tinggal ke lo." Hazel berkata yang sebenarnya, namun bagi Harlan kata-kata Hazel seperti hanya bualan semata. Tidak ada penyesalan yang tersirat didalamnya dan Harlan benci itu.
Harlan tidak merasa harus membalas, ia langsung melayangkan tinjuan ke pipi Hazel. Bukan sekali atau dua kali tapi berkali-kali tidak peduli seberapa banyak dan brutalnya tinjuannya, ia akan berhenti kalau ia puas. Seolah Hazel mengerti situasi, cowok itu sama sekali tidak membalas. Membiarkan wajahnya bonyok oleh kebrutalan Harlan, membiarkan wajahnya menjadi sasaran empuk untuk pelampiasan kekesalan Harlan.
Suasana sungai yang sepi seperti memberi kesempatan bagi Harlan agar lebih menghajar cowok itu. Sejenak Harlan menghirup nafas dalam, berniat akan kembali menghajar Hazel yang tergeletak tak berdaya dibawahnya namun ia urungkan. Ia merasa waktu baru berjalan beberapa detik tapi wajah Hazel sudah tak berbentuk. Harlan jadi merasa bersalah sedikit. Ingat sedikit.
"Udah?" Hazel bertanya diiringi suara desisan tertahan.
Harlan menggeleng. "Sekali lagi."
Tinjuan terakhir membuat Hazel kalah telak. Wajahnya sakit, sangat sakit. Belum lagi perutnya diduduki membuat semua sakitnya kini paket lengkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
HACI
SonstigesTerkadang kita perlu melihat segala sesuatu dari dua sisi, karena ada alasan dibalik setiap perbuatan yang dilakukan. Hidup Harlan jadi memuakkan semenjak Mama pergi. Dirinya harus belajar mati matian karena permintaan Sang Papa. Bergonta-ganti pac...