"Terserah lo sih. Mau kabur keluar boleh atau mau kabur ke hati gue juga boleh."
—Jafar Djapati Wibowo🔆
Pagi pagi jam 07.00 WIB dihari minggu. Tidak seperti kebanyakan pelajar lainnya yang memilih untuk tidur sampai siang. Lain halnya bagi 4 sekawan ini yang sudah bersama sejak awal masuk SMA. Pagi itu mereka berempat sudah stand by di alun-alun kota untuk lari pagi. Yang menjadi pencetus ide itu tidak lain dan tidak bukan adalah Yang Mulia Rendika Jagadita.
Bagi Jendra sih tidak masalah toh ia memang suka olahraga dan membentuk tubuh yang berotot. Tapi tidak untuk Jafar dan Harlan. Dua cowok itu benar benar diambang dasar kemalasan. Wajah bantalnya saja masih melekat sempurna.
"Jen, itu berdua bangunin. Disini bukan tempat untuk tidur." Jendra mengikuti arah pandangan Rendi. Menatap dua cowok yang saling bersender lengkap dengan mata terpejam.
Jendra menghela nafas kemudian berjalan untuk mendorong bahu kedua temannya kesamping.
"Apaan woii?? Ganggu lo!" omel Jafar. Nyawanya seolah ditarik paksa oleh Jendra.
"Kenapa gue jadi di alun-alun?" kini Harlan bertanya, seingatnya tadi ia tidak beranjak dari kasur sama sekali.
Rasanya kesabaran Rendi perlahan menipis mendengar ucapan tidak berguna itu. Memang mudah sekali membuat cowok itu emosi. Badannya boleh saja kecil diantara teman temannya. Tapi Rendi akan berubah menjadi sangat menyeramkan jika sudah marah.
Definisi kecil kecil cabe rawit.
"Cepetan lari." titah Rendi, raut wajahnya amat sangat kecut.
"Gak mau ah. Gue mau balik aja. Mau tidur. Ayo Jafar." Harlan mengeluh, Jafar mengangguk menyetujui.
Harlan menyeret Jafar untuk ikut pulang bersamanya, Jafar dengan senang hati melangkahkan kakinya untuk menjauh dari alun-alun. Namun seperti yang kita ketahui atau perlu diingat lagi. Rendi akan sangat menyeramkan jika kesabarannya sudah habis.
Maka bentakan menggelegar pun tak bisa terelakkan lagi.
"HARLAN JAFAR CEPETAN LARI!! GAK MAU LARI GUE GAPLOK LO BERDUA!! CEPET GAK??!!"
Mendengar itu baik Harlan, Jafar dan Jendra terlonjak kaget ditempatnya. Bukan hanya mereka bertiga, tatapan orang orang yang lewat pun sempat terheran heran. Bukan hanya dari suara Rendi, tapi dari bagaimana perawakan cowok itu yang memang paling kecil dari ketiga temannya.
Detik itu juga Harlan dan Jafar melesat pergi untuk lari ketika Rendi mulai mengamuk. Dibelakang sini Rendi masih bisa melihat dua orang itu sesekali menolehkan kepala kebelakang—tepatnya menatap padanya lengkap dengan ekspresi julid. Mudah menyimpulkan topik utama yang sedang mereka ghibahi adalah dirinya.
Rendi beralih pada Jendra—yang ketahuan sedang tertawa. Mengetahui itu Jendra buru-buru mengubah ekspresinya. "Lo ngapain masih disini?"
"Kan belum disuruh."
"Lari sekarang!!"
"Oke siap!" Jendra memberi gerakan hormat sebelum akhirnya berlari mengejar dua temannya didepan sana.
Sebagai orang yang bertugas mengawasi, Rendi berlari dibelakang. Siapa tahu ada yang malah mangkal beli jajan bakal habis ia hajar.
Dilain jarak namun satu tempat, Harlan dan Jafar masih berlari. Nafas keduanya masih stabil padahal sudah lari jauh. Kenapa bisa begitu? Ghibah lah jawabannya.
"Eh, si Rendi bacot bener dah." Harlan mengomel.
"Gak tau tuh jiwa bacotnya dari siapa." Jafar menyahut.
KAMU SEDANG MEMBACA
HACI
RandomTerkadang kita perlu melihat segala sesuatu dari dua sisi, karena ada alasan dibalik setiap perbuatan yang dilakukan. Hidup Harlan jadi memuakkan semenjak Mama pergi. Dirinya harus belajar mati matian karena permintaan Sang Papa. Bergonta-ganti pac...