0.4

61 27 24
                                    

Happy reading 😊.




Happy reading 😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Jika ditanya seberapa kenalnya dia pada Leya, maka jawabannya adalah sangat kenal. Bahkan mungkin lebih kenal dari pada kedua orang tua gadis itu sendiri. Bukannya bermaksud sombong, tapi memang itulah kenyataannya.

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat semenjak mereka berkenalan. Mereka tumbuh bersama. Tapi dalam latar belakang yang berbeda. Jika dirinya adalah anak semata wayang dari keluarga yang tubuh dengan penuh kasih sayang, tapi Aleya tidak.

Entah sudah berapa kali Jian mendapati Leya menangis sesak saat orang tuanya lagi-lagi bertengkar. Jadi yang Jian lakukan adalah menemani temannya itu menumpahkan semua air mata sepuasnya. Meraung sepuasnya.

Tidak. Jian tidak akan menenangkan ketika Leya menangis. Karena menurutnya, tidak baik memendam sesak akibat menahan tangis. Jadi dirinya hanya membiarkan. Sampai Leya merasa baik.

Tapi ternyata tidak. Temannya sama sekali tidak membaik. ketika didapatinya sebotol kecil pil tidur jatuh dari dalam tas Leya saat itu.

"Gue gak akan tanya kenapa lo minum ini," ucapnya, sembari mengembalikan botol pil ke tangan Leya. "Karena Leya, gue tau lo lagi gak baik-baik aja. Gue tau. Jadi gak perlu berusaha untuk nutupin."

Saat itu Leya hanya bungkam dan menatapnya dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. Itu kejadian saat mereka masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama.

Satu dari banyak alasan yang membuat Jian tetap selalu ada disamping gadis itu. Jian sudah terlanjur tahu banyak hal tentang Leya. Jadi, mana mungkin dirinya meninggalkan gadis itu sendirian.


***

"Bang, besok masing-masing orang tua disuruh dateng buat rapat. Abang bisa 'kan?"

Jaden mengalihkan pandangannya dari buku ke Btari. "Jam berapa mulainya Bi?" Dia memastikan, barangkali jamnya berbentrokan dengan kegiatannya.

"Jam sembilan pagi harus udah sampe di kelas." Btari menjawab dengan wajah hopeless. Sebab di rapat orang tua siswa sebelumnya Jaden tidak hadir.

Cowok itu mengelus rambut adik satu-satunya sambil tersenyum. "Abang usahain bakal dateng tepat waktu, ya," ucapnya berusaha meyakinkan.

Disaat-saat seperti inilah Jaden menjadi wali bagi Btari. Sebab jika mengharapkan Mama, jelas tidak bisa. Dan Papa? Tentu saja juga tidak. Papa mengalami kecelakaan beruntut lima tahun yang lalu yang menjadikan nyawanya tidak bisa tertolong. Dengan kata lain Papa sudah meninggal.

Dirinya ingat saat itu. Tahun itu menjadi yang terburuk baginya. Papa kecelakaan, dan Mama sangat terpukul. Satu hingga dua tahun berlalu, tapi Mama masih belum bisa menerima kepergian Papa. Sampai saat dokter mendianogsis bahwa wanita tercintanya mengidap Skizofrenia paranoid.

Dia hancur. Dia merasa ingin menyerah. Tapi saat melihat wajah Btari, dirinya menemukan satu alasan untuk tetap bertahan. Hanya satu. Dan sampai saat ini, Jaden masih mencari alasan lainnya.

Terkadang dia ingin pergi ketempat paling jauh di muka bumi, agar tidak ada seorangpun menemukannya. Tapi mau bagaimana? Semua masalah yang menghampiri harus dihadapi sendiri. Setidaknya dia harus kuat untuk Btari.

Tak apa jika sekarang dirinya mati-matian berjuang. Asalkan Btari tidak akan merasa sendirian sepertinya. Hanya itu inginnya.















[ ]

Terima kasih sudah membaca.
Jika berkenan silahkan tinggalkan vote dan komen 😊.

The Only Exception | YOSHINORITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang