0.5

61 26 43
                                    

Happy reading 😊

Happy reading 😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sunyi. Hanya denting dari peralatan makan yang saling bergesekan mengisi ruangan. Rita--wanita dengan potongan rambut pendek itu memanggil pelayan. Menyuruh untuk menaikan suhu pendingin ruangan.

"Kenapa ta?" Tanya seorang wanita paruh baya yang tampak sangat glamour.

"Ah, Le--"

"Aleya gak bisa dengan suhu udara yang terlalu dingin," potong pria yang duduk dihadapan Leya.

Memang, sedari tadi dia melihat anak semata wayangnya itu terus memegangi dadanya. Pria itu lalu menghela napas. Menghentikan aktivitas makannya.

Memerhatikan anak perempuan--yang sekarang sudah bertumbuh menjadi seorang gadis cantik. Dia bertanya-tanya, kapan Aleya berubah sebanyak ini?

"Gimana sama sekolah kamu Le?" Tanyanya mencoba untuk berbasa-basi.

"Semua baik." bahkan gadis itu tidak menatapnya.

"Bunda bawaiin hadiah kecil buat kamu," ungkap Aini, lalu mengambil kotak kecil berisikan sebuah liontin.

Leya menerimanya. Daun Clover. Dengan ukiran empat helai daun Clover, Leya tau artinya adalah keberuntungan.

"Makasih." ada jeda diucapannya. "Bunda," lirihnya.

"Sama-sama sayang-nya Bunda." Wanita itu tersenyum menatap anak perempuannya dengan haru.

Gadis itu terus memandangi liontin ditangannya. Semoga. Semoga saja benar, jika keberuntungan selalu mengikutinya.

***

Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Tapi dia memutuskan untuk keluar rumah, memesan gojek online-nya menuju apotek yang sekiranya menjual obat yang sedang dibutuhkan.

Dirinya membeli dua botol sekaligus pil tidur. Leya duduk dibangku halte yang tidak jauh dari apotek. Mengeratkan jaketnya, dia mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghela dengan berat. Katakanlah dirinya berlebihan, tapi memang dua hari belakangan ini hanya untuk bernapas saja susah baginya.

Ingatannya terus saja kembali ke malam itu. Dimana untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun berlalu Ayah, Bunda berkumpul lagi. Leya sudah bilang kepada Mamanya, bahwa itu bukanlah hal yang bagus.

Dan ternyata benar, setelah acara makan malam Awkard tersebut Leya sama sekali tidak bisa tidur. Bahkan setelah menelan dua pil tidur sekaligus tetap saja matanya tidak ingin terpejam.

Gadis itu menunduk sambil memegangi kepalanya yang mulai pusing, akibat kurang tidur. Sampai dia melihat sepasang Sneakers putih yang tampak kotor berhenti tepat di depannya.

Dia mendongak. Itu Jaden. Cowok itu menatapnya, lalu tanpa aba-aba duduk tepat disamping Leya.

"Lo ngapain masih disini? Udah malem mending langsung pulang deh," ujarnya cowok itu.

Dirinya hanya menggeleng sambil menatap kosong kearah jalanan. Senyap setelahnya. Kedua remaja itu bergelut dengan pikiran masing-masing. Yang satu masih dengan bayang-bayang trauma, yang satunya sibuk bertanya mengapa gadis tersebut diam saja.

"Mau gue anterin aja?" Tawar Jaden bertanya sekali lagi. Tapi Aleya hanya menatapnya tanpa menjawab.

"Jangan salah paham, gue cuma mau mastiin lo sampe rumah dan gak keluyuran lagi," ucapnya mencoba menjelaskan agar tidak terjadi kesalah pahaman.

"Gak usah. Gue masih bisa pulang sendiri."

Pemuda itu hanya mengangguk kikuk. Sebenernya dia kenapa? Tanya Jaden dalam hati.

"Lo sendiri kenapa bisa disini?" Leya masih menatap jalanan dengan tatapan kosong.

"Oh, abis ke apotek beli obat buat Mama." Jawabnya. "Karena gue liat lo duduk sendiri jadi gue samperin."
Yang diajak bicara hanya ber-oh ria.

Pandangan Jaden lalu jatuh pada kantong plastik di tangan Leya. Lalu beralih menatap wajahnya yang tampak kacau. Memang, tadi Jaden mendapati Leya tertidur dikelas saat jam pelajaran berlangsung.

Merasa diperhatikan sedekat itu, Leya pun membuka suara. "Menurut lo... kalo gue nganggap takdir paling buruk itu adalah terlahir didunia, setuju gak?"

Pertanyaan itu membuat Jaden terdiam sesaat, dengan Leya yang masih menunggu. "Awalnya gue juga mikir gitu. Tapi untuk beberapa alasan, gue jadi mikir, ternyata hidup gak seburuk itu," jelasnya, Leya hanya mengangguk.

"Kadang gue ngerasa hidup ini tuh kayak anjing." Gadis itu menjeda ucapannya.

"Kayaknya emang semesta gak pernah izinin gue bahagia sebentar aja, tanpa perlu khawatirin hal lain."

"Gue juga capek terus-terusan sakit tanpa tau apa penyebabnya. Tiap malem. Setiap malem gue harus nenggak pil-pil sialan ini cuma supaya gue bisa tidur." Leya tidak tahu apa yang membuatnya menjadi se-sensitif seperti ini. Tapi dia merasa sudah sangat tidak tahan.

"Mungkin kalo mereka gak egois masukin gue kedalam skenario kehidupan pernikahan fake itu, hidup gue gak bakal semenyedihkan ini."

"Gue bisa tidur dengan nyenyak setiap malem, tanpa bayang-bayang mereka yang lagi berantem sambil lempar-lemparan piring."

Air matanya tiba-tiba luruh begitu saja. Cepat-cepat di sekanya. Apakah dia sudah salah menceritakan kekesalannya pada takdir ke Jaden? Dirinya harap tidak.

"Le, ada orang yang bilang ke gue kalo bertahan sampe dititik ini gak bakal jadi sia-sia." Sahut cowok itu.

"Gue gak tau apa kalimat ini bakal bikin rasa capek lo berkurang atau enggak," lalu dirinya menatap wajah gadis itu dengan seksama. Leya membalas tatapannya lekat-lekat.

"Tapi Aleya, makasih karena udah mencoba survive sejauh ini. Makasih karena milih tetap ada di hidup yang kayak anjing ini."

"Gue harap sakit itu bisa membaik secepatnya. Juga... jangan lupa untuk bahagia. Walaupun gue tau, kata bahagia itu terlalu sulit buat dirasa.




[ ]

Terima kasih karena sudah membaca.
Jika berkenan silahkan vote dan komen 😊.

The Only Exception | YOSHINORITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang