1: Lelaki Asing

1K 130 38
                                    

Yoongi, bocah piatu, yang ditinggal mati ibunya ketika berusia delapan tahun itu, kini tinggal bersama dengan ayahnya yang pemabuk. Setiap malam sepulang dari menebang kayu bakar, sambutan yang ia terima bukanlah senyuman hangat. Melainkan bau tak sedap dari alkohol, juga kata-kata kasar yang membuatnya selalu ingin menutup telinga.

Tidak tahu pasti sejak kapan, tetapi sang ayah mulai menjadi pecandu minuman keras setelah kepergian ibunya. Itu yang Yoongi yakini. Lalu, semenjak itu pula pukulan selalu ia dapat, ketika dirinya pulang dengan tangan kosong--dalam hal ini, tangan kosong berarti pulang tanpa membawa sebotol minuman keras pesanan sang ayah.

Pukulan pertama ia dapat ketika dirinya berumur dua belas. Sang ayah menyeretnya ke gudang saat itu, mengambil sebilah rotan dan melibas punggungnya. Ia berteriak meminta ampun--tapi ... sudahlah. Mereka tinggal di tengah hutan yang sepi dan tidak ada rumah selain milik mereka. Itu berarti, semua ronta dan jeritannya tidak akan terdengar dan tidak akan pernah didengar.

Kata-kata kasar dan makian terlontar ketika rotan menyapa kulit dan sejak saat itu, dirinya mulai tidak mengenal sang ayah. Ia tidak lagi mengenal hangatnya kasih sayang dan apa itu orangtua. Perlindungan dari sang ayah--hak yang seharusnya ia dapat--tidak lagi terlihat, semenjak pukulan dan libasan rotan menjadi pengganti dari hangatnya usapan sayang.

***

Malam ini hujan turun begitu deras disertai oleh petir dan bunyi lantang guntur yang saling bersahutan. Dinginnya hujan serasa menembus kulit dan membekukan tulang, terlebih bagi si bocah yang terkapar di lantai dingin, hanya dengan kaos tipis yang membalut tubuh kurusnya.

Ruangan ini gelap gulita semenjak sang ayah keluar, setelah memberinya beberapa pukulan dan libasan rotan di punggung. Hal yang tidak asing lagi, memang. Hal yang sudah ia dapat dan rasakan sejak lama sekali. Tapi, entah kenapa rasa sakit yang sudah acap kali ia terima itu masih bisa ia rasakan. Terasa seperti luka baru. Rasanya akan selalu perih dan sakit, hingga kadang-kadang, ia dengan tangisan tertahannya berharap tubuhnya dibuat mati rasa, agar luka dari pukulan dan libasan rotan sang ayah tidak terasa.

Anak itu tetap pada posisinya: meringkuk. Mulutnya yang sedikit terbuka sesekali mengeluarkan batuk, diikuti kernyit sakit samar pada dahinya. Matanya sesekali terpejam, tetapi terbuka kembali ketika sakit dan perih seakan menyengat, memberinya kejutan listrik dinamis yang mengalir hingga ke ujung-ujung jemari kaki. 

Di sela bunyi guntur yang datang silih berganti, di saat itulah pintu dibuka. Rongga terbukanya pintu mengantarkan cahaya remang lampu hingga mengenai wajahnya. Dirinya merasa seperti disorot dan ia cukup terganggu. Maka dari itu, kepalanya ia paksa untuk terangkat. Mata redupnya menatap pada siluet tinggi yang ia kenal betul milik siapa.

"Ayah ...." 

Suaranya tertahan di ujung lidah, sebab rasa sakit yang lebih mendominasi. Hal yang memaksanya untuk kembali terdiam dalam napas terputusnya. Tapi, tunggu ... ada satu lagi siluet yang tertangkap di matanya. Siluet seorang lelaki asing yang ia tahu menatapnya penuh belas kasih, tatapan yang tertangkap ketika sekelebat kilatan petir menerangi ruangan itu dalam sepersekian sekon.

"Yakin? Sekali membiarkannya pergi, anakmu tidak akan kembali. Apa kau mengerti?"

"Bocah itu sampah, sama sekali tidak berguna. Tidak kusangka kau rela mengeluarkan banyak uang hanya demi bocah seperti dia." Tidak ada ragu dalam perkataannya. Kalimat dari si ayah keluar, menghardik sang anak dengan rangkaian kata-kata kasar.

Percakapan keduanya menarik perhatian bocah yang terkapar. Kata-kata kasar dari mulut sang ayah memang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi telinganya. Tapi ... uang?

Kilatan petir kembali datang dan guntur menyambar dengan begitu keras. Dengan bantuan dari cahaya kilat, Yoongi bisa melihat si lelaki asing memberikan sebuah koper gemuk pada ayahnya.

"Luar biasa! Rasanya seperti mimpi saja! Kau bisa ambil anak itu. Aku akan minum sepuasnya malam ini, hahaha ...." Tawa ayahnya menggelegar, terdengar bersahutan dengan guntur yang beberapa kali menyambar tanah.

Setelahnya, Yoongi dapat mendengar pintu depan yang ditutup dengan bantingan keras. Tawa ayahnya menghilang. Lelaki itu pergi, meninggalkan ia bersama lelaki asing yang masih belum ia tahu rupanya. 

Lelaki asing yang Yoongi tahu telah membelinya.

Langkah kaki mendekat dan Yoongi hanya terdiam. "Selama ini, kau pasti sangat menderita, ya." 

Matanya melirik pada lelaki yang berjongkok di sampingnya. Yang lebih muda bungkam, sama sekali tak berniat untuk menyahut. Cukup lama si lelaki menatapnya dan Yoongi merasa risih. Anak itu memaksa dirinya untuk bangkit, duduk bersandar dengan dinding yang menjadi penopang.

"Sekarang penderitaanmu sudah berakhir. Aku akan membawamu bersamaku," si lelaki asing itu berucap.

" ... tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Sekarang, ikutlah denganku."

***

"Kau ... ke mana kau akan membawaku?" tanyanya lirih.

Lelaki di sampingnya menghela napas panjang. "Sudah kubilang, tidak ada yang perlu ditakutkan." Sekilas, ia tatap si bocah yang rupanya belum ingin beranjak dari halaman rumahnya. "Ayo, kita pergi."

--dan itu adalah kesempatan kali terakhir bagi Yoongi untuk menginjakkan kaki di rumahnya.

***

"Aku bahkan tidak tahu kau siapa dan kenapa kau mengeluarkan banyak uang hanya untuk bocah kosong sepertiku."

Si lelaki melirik pada bocah di gendongan punggungnya. Ia terkekeh lirih. "Terkadang menjadi kosong bukanlah hal yang buruk," ia berucap.

"Di tempat yang akan kita tuju, ada banyak anak sebaya denganmu. Mereka semua memiliki latar belakang yang sama denganmu. Hidup untuk tidak dipedulikan, dipukuli, dan disakiti," tuturnya. 

Hening berkuasa cukup lama, setelah si bocah memutuskan untuk tidak menyahut. Anak itu diam, membiarkan si lelaki bermonolog dalam kehendaknya sendiri.

Si lelaki dengan beban ringan di punggung terus melangkah keluar dari desa. Melangkahkan kakinya di atas tanah yang basah bekas hujan, menciptakan tilas dari alas kaki yang ia pakai pada tanah. 

Tatapannya lurus ke depan, seakan hanya memandang pada satu tujuan. Dalam perjalanan, sekali lagi ia melirik pada bocah yang terpejam di punggungnya. Dia tersenyum.

"Kau sudah bertahan dengan sangat baik."





To Be Continue

CYBORG - Min Yoongi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang