A w a m

135 32 1
                                    

Suara berisik tentu berasal dari kamar Petang. Sudah dua jam satu rumah tak terkecuali para warga sekitar di teror suara musik Korea yang menggelegar. Bukan itu yang dipermasalahkan, tapi jeritan-jeritan histeris seorang gadis itu lebih meresahkan.

Ibunda Petang bingung harus bagaimana mengingatkan putrinya, pintu kamar dikunci, sedangkan mengetuk rasanya sudah tak ada artinya di indra pendengaran gadis itu yang disebabkan lagu-lagu kesukaannya—musik Korea.

Entah karena kelelahan atau bagaimana, suara jeritan Petang kini sudah tak terdengar lagi. Sang ibunda menghela napasnya dalam-dalam, akhirnya.

"Petang.... Keluar dulu, ada Jofan! Petang!"

Kendati begitu, Petang yang sedang bersantai merehatkan tubuhnya guna menghilangkan lelahnya kini terperanjat saat mendengar suara samar-samar ibunya. Tak mau memancing perperangan dunia, Petang tak sungkan bangkit mengecilkan voleme box music sebelum membukakan pintu kamarnya untuk ibunya.

Petang memperhatikan wajah mamahnya yang sudah memerah, seperti ada yang ditahan. Rupanya yang tertahan  letupan emosi yang ingin sekali membantai anaknya sendiri.

"Ngapain keluar? Masuk lagi aja sana biar togean di kamar," sungut sang mama.

Petang meringis mendengarnya, "Jamuran, Bunda... bukan togean," ralatnya hati-hati.

"Berani kamu ngelawan Bunda, hah?"

"E-enggak, Bun.... Enggak gitu juga konsepnya." Petang gugup sendiri. "Kok ada Jofan Bunda gak bilang Petang?"

"Karena dia nyariin Bunda, bukan kamu," telaknya lalu memilih melenggang.

Diam-diam Petang memperhatikan punggung bundanya yang lambat-laun menghilang. Merasa aneh mengapa wanita paruh baya itu selalu memarahinya tiap kali bersantai di rumah, atau lebih tepatnya di dalam kamar dengan menghabiskan waktu bersama hobinya—bernyanyi, dance, ngedrakor.

"Kenapa orang males itu selalu salah?" Ya, Petang merasa dirinya gadis yang malas, namun ia bangga akan hal itu. "Kan orang males gak ngapa-ngapain, masih aja salah. Gimana kalo nanti ngapa-ngapain?"

***

Awan diterpa senja. Menghadirkan gemerlap baru di angkasa. Angin berembus pelan, mengibaskan beberapa helai rambut hingga berterbangan. Pepohonan terlihat hijau menyala, kadar indahnya sedikit memabukkan mata.

Berboncengan berdua bersama cerahnya senja yang ikut serta. Berdominan keserasian, padahal keduanya tidak memiliki ikatan—mereka Petang dan Jofan.

Sore ini Jofan berniat mengajak Petang ke rumah Rafka—temannya, sekedar menghalau pemikiran teman-temannya yang pasti berpikir dirinya berubah semenjak bersama Petang.

"Lo kenapa diem terus, sih, Fan?!" Petang bersuara nyaring persis di telinga Jofan hingga si empunya meringis ngilu.

"Berbisik, kampret!"

"Hah?!"

"Berisik!"

"Iya, emang ikan ada sisiknya! Katanya doang anak IPA!"

"Hah?!"

"Apaan, hah?!"

"Apaan, sih, Tang?!"

Ayo Cepet Kawin!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang