B e r p u l a n g

58 19 3
                                    

Pekatnya malam makin memeluk angkasa. Bertaut antara terangnya gemintang dan bulan. Seolah bernapas, iya, bumi seolah bernapas lewat semilir angin yang menerbangkan beberapa helai daun. Menatap artaristik yang memanjakan mata, kota besar Jakarta memang terkenal dengan fenomena langit yang indah.

Tak berbeda jauh dengan pemandangan di luar jendela, Petang juga tengah berbunga-bunga. Perasaannya yang awalnya kelabu kini menemukan titik terang. Ya, sang ayah akan mendarat di Indonesia esok pagi, rindu tentu, apalagi dirinya adalah anak semata wayang yang ada di dalam keluarga ini.

Oleh karena itu, Petang bersikeras mengenalkan Jofan kepada ayahnya. Astrid tidak keberatan sama sekali, lagi pun dirinya sudah cukup mengenal baik siapa itu Jofan. Namun, yang merasa diberatkan adalah Jofan. Pria itu terus uring-uringan sampai jarum jam menunjukkan pukul dini hari. Mengapa dirinya yang mesti tertimpa musibah semacam Petang di dalam hidupnya?

Berbagai kosa kata sudah Jofan coba, peragakan, dan percontohkan. Akan tetapi tetap sulit.

Suara ketukan pintu kamar memecahkan kekusutan Jofan. Pria itu mencari remote yang mampu membuka pintu tanpa dirinya harus turun tangan sendiri karena antara remote dan pintu kamarnya sudah terhubung.

"Udah jam segini, lho, terus kamu belum tidur? Mau jadi apa kamu?" Suami dari Tyas membuka suara melihat putranya terus diam dengan tatapan gusarnya.

"Diem, deh, Pi. Jofan lagi bingung, jadi jangan buat Jofan tambah bingung."

Buk!

Bantal sofa melayang, menubruk persis kepala Jofan. "Siapa kamu berani suruh saya diam?"

"Calon papi dari cucu-cucu Anda," jawab Jofan nyeleneh.

Vlo menggeleng, putranya benar-benar seperti dirinya di masa muda. Konyol.

"Pi, Papi pernah muda, 'kan?" cicitnya dalam. "Pernah ngerasain rasanya dag-dig-dug pas mau ketemu sama seseorang, 'kan?"

"Pernah."

"Nah, itu! Jofan sekarang gitu!" timpal Jofan berapi-api.

"Mau ketemu siapa emangnya?"

"Papi-nya Petang."

Vlo mengangguk paham, "Turun ke bawah, kita praktik." Ia memberi perintah kepada putranya.

Jofan sumringah, tak pernah ada rasa penyesalan jika berbagi pikiran dengan papi-nya.

***

Petang bergegas masuk ke dalam rumahnya saat usai membantu sang ayah membawa barang-barang. Kepulangan Naldo memang sudah dinanti sejak lama. Astrid dan Petang tentunya merindukan sosok pria tangguh itu.

Teman-teman sekolah Petang sempat mengira bahwa dirinya tak memiliki seorang ayah, dan itu adalah salah besar. Naldo memiliki beberapa perusahaan besar di Dubai, bukan hanya itu, Naldo juga merupakan pesaham berpengaruh di Indonesia. Keluarga Adiwijaya memang terkenal dengan usaha tambaknya yang tersebar di mana-mana.

Astrid terenyuh melihat putri dan suaminya yang tengah melepas rindu. Setengah tahun bukanlah waktu yang singkat bagi mereka, menjalani hidup tanpa berpegangan seorang kepala keluarga juga bukan hal yang mudah.

Naldo melepas kacamata yang ia kenakan. Mengelap keringat yang juga membasahi alisnya. Ia pun juga merindukan istri dan putri cerewetnya—keluarga kecil yang bermuatan tiga anggota.

"Ayah bawa apa aja?" Petang sibuk mengorek-ngorek isi koper yang Naldo bawa.

Astrid menuangkan secangkir teh hangat guna menghangatkan tubuh si suami. Membiarkan putri semata wayangnya berada di dunianya sendiri.

Ayo Cepet Kawin!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang