S u c i u n t u k h a r a m

354 60 8
                                    

Seperti halnya pesawat meledak, kamar Petang lebih menyedihkan daripada definisi tersebut. Usai berdandan ria, ia merasakan anak-anak di dalam perutnya bergejolak meminta asupan—anak cacing.

Sun yang dibawakan Jofan memang baru habis tadi malam, hingga siang hari ini Petang masih enggan makan kalau makanan yang akan ia makan bukan berasal dari tangan Jofan. Bundanya sudah bosan menyuruh anak gadis itu makan, namun tetap saja menolak. Dibelikan satu karung sun pun tetap ditolak dengan alasan bukan Jofan yang membelikannya.

"Makan malu gak makan rindu, eh?" Petang membekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan. "Kayak lagu?" ia menyadari ucapannya adalah sebuah lagu, sejurus dengan langkahnya yang membawanya keluar setelah mendengar suara ketukan pintu.

"Bunda bibirnya merah banget, abis makan orok, ya?" dengan bodohnya Petang mengikuti ucapan Jofan yang dilayangkan pada dirinya tempo hari.

Astrid menghela napasnya. "Cepetan turun, Jofan ada di bawah. Oh iya, kalau make-up itu baiknya sesudah mandi, bukan sebelum mandi." Petang mencebik menyadari bundanya menyindir.

"Kayaknya Bunda punya dendam kesumbat sama Petang. Ada apa, Bund? Apa pas hamil Petang, Ayah selingkuh? Atau Ayah juga lagi hamil sama perempuan lain waktu Bunda hamil Petang? Ata—"

"Petang, mending kamu turun, ya. Bunda mau beresin kamar kamu. Tengok aja kamar kamu udah mirip bumi tertiup sangkakala," cetus Astrid agar Petang berhenti mengatakan hal-hal gila menurut versinya.

Petang mengangguk paham. "Bunda, kira-kira Petang kapan kawin, ya? Jofan udah siap lho, Bund."

"Tunggu sampai ada episode Shiva kalah," sungguh Petang tak paham. Astrid terpukau dengan kehancuran kamar sang anak. Menyedihkan.

"Oh, yang lagunya gini, ya. Shiva, Shiva, Shiva, Shiva, Shiva, Shiva. Gitu, ya?" Astrid mengangguk mengiyakan. Ia ingin segera beban hidupnya berkurang dengan Petang turun ke bawah.

"Kayaknya Bunda udah gak kuat ngurusin Petang, ya?" tanyanya, random. "Ya udah, nanti Petang minta sama Ayah buat cari ibu baru buat Petang. Petang kasian sama Bunda, kayaknya tekanan batin banget. Biar Bunda istirahat. Petang gak tega. Jadi mending Ayah punya istri baru buat gantiin posisi Bunda."

"PETANG... "

Astrid memekik, bersamaan dengan Petang yang sudah hilang dari muka bumi. Eh? Dari kamar maksudnya!

***

Jofan tengah bertengger di kepala sofa. Astaghfirullah. Menggeser posisinya saat Petang hadir dan ikut duduk di sebelahnya.

"Sendiri aja, jomlo, ya?" Petang bertanya ketika bokongnya menyentuh sofa.

Jofan menjawab septis tanpa mau menoleh. "Mohon maaf, saya bukan jomlo. Hanya saja saya sedang menganut paham independen, dan saya sedang tidak ingin berkoalisi dengan siapa pun."

"Jorok lo, Tang. Mandi sono. Bau tau gak, sih?" Petang gelapakan ketika Jofan melanjutkan ucapannya.

Petang mendesah. Tangannya terbang, melayang, lalu mendarat sempurna pada dahi Jofan. "Wangi gini dibilang bau. Gak ada akhlak lo, ya!"

"Halah. Lo belum mandi, 'kan? Ngaku, lo!"

"Kok lo tau, sih?! Tau dari mana coba?" cicit Petang.

Jofan mengangkat kedua bahunya bersamaan, acuh. "Lo bau," tandasnya.

"Oke-oke. Gue bakal rajin mandi buat ke depannya. Asal lo cepet-cepet kawinin gue, Fan!"

Dahi si empu mengerut. "Orang kayak lo rajin? Orang yang ketemu kasur dikit, rebahan. Ketemu sofa dikit, goleran. Ketemu yang empuk dikit, tiduran. Lembek amat lo kayak yupi."

"Ayolah, Fan. Gue bosen jadi lajang," cicit Petang memaksa.

"Ya udah, jadi jalang."

Plak!

***

Suara tertawa menggema. Petang sampai sakit perut menertawakan Jofan yang jatuh sebab ia halangi jalan pria itu. Jofan menjengit. Petang benar-benar sialan.

Memang banyak jalan untuk menuju sofa, tapi itulah jalan yang paling dekat. Jofan menepuk celananya.

"Sakit gak, Fan?" Petang masih saja terkikih. Ia sukar sekali mengganggu Jofan. Seperti ada bahagia yang tiada tara.

"Sakitnya gak seberapa. Malunya itu, lho... " Jofan menyahut.

Petang makin tak bisa mengontrol diri. Pelupuk matanya sampai mengeluarkan air bening saking gelinya.

"Bunuh orang dosa gak, sih?" akhirnya Jofan menemukan suaranya di tumpukkan rasa malu.

"Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan."

Jofan mendengus disusul bokongnya yang sudah ia dudukkan. "Gak nyambung ngomong sama orang kayak lo."

"Nih, cepetan makan," titah Jofan, melayangkan sendok di genggamannya membuat Petang terenyuh.

Jika dibandingkan dengan tukang somay tiap sore lewat depan rumahnya, Jofan memanglah lebih tampan. Karena apa? Karena yang berjualan ada perempuan. Gak lucu.

Petang menyambut suapan sun yang dilayangkan padanya. Masih tersenyum menatap wajah si pemilik tangan membuat hatinya menghangat. Jatuh cinta memang sesederhana itu.

"Kata Bunda semalem lo gak makan, dibeliin serelak juga gak dimakan, bener?" Petang manggut-manggut.

"Kenapa gak makan?" lanjutnya bertanya.

"Gue pengen makan disuapin sama lo."

"Ck, manja."

Petang menyengir. Menyempatkan diri menelan makanan di dalam mulutnya. Halus. Jadi tidak sulit. Tidak perlu dikunyah juga. Sangat pas untuk dirinya yang malas segala hal.

"Padahal semalem gue laper banget. Cuma, ya, serelaknya tinggal sedikit banget. Soalnya sebelum isya gue udah sempet makan. Eh, pas tengah malem laper lagi," ungkap Petang, kalem.

Mungkin benar pernyataan Petang. Buktinya Jofan sampai merasa bahwa bayinya begitu lahap. "Kalau tengah malam Anda lapar, pergilah ke dapur lalu minum air satu galon. Agar cacing-cacing Anda kebanjiran dan merasakan penderitaan Anda."

"Tapi cacing-cacingnya imut banget. Gue gak tega buat mereka kebanjiran. Nanti mereka tinggal di mana?"

Mungkin Jofan akan segera membawa Petang ke Psikiater untuk mengecek sudah sampai mana kegilaan gadis tersebut. "Lanjutkan goblok lo, Tang. Karena orang kalo udah ngerasa pinter malah jadi goblok."

***

Note : mohon kegoblokan mereka bukan untuk ditiru ⚠️

Ayo Cepet Kawin!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang