B e r n o s t l a g i a

106 27 11
                                    

Meringsut-ringsut duduk, lalu terdiam kaku setelahnya adalah sesuatu kegiatan yang Petang lakukan beberapa menit lalu. Canggung sekaligus malu berada di tengah-tengah teman-teman Jofan membuatnya sedikit bahagia. Bahagia? Iya, bahagia. Dirinya jadi merasa masih memiliki urat malu setelah ibunya sendiri mengatakan kalau ia tak mempunyai itu.

Demi kesehatan jantungnya yang serasa marathon sejak tadi, Petang memilin-milin jari kelingking Jofan hingga si empunya menjengit sarkas. Nyali yang besar, membuatnya tetap bertekad untuk memberi kode kepada Jofan dengan tingkahnya. Kode pulang.

Dari sepersekian topik yang dibahas, ngalor-ngidul, Petang sama sekali tak paham. Bukannya tak jelas, mungkin dirinya yang terlalu menutup kemungkinan bahwa ia bisa berbaur dengan normal jika berada di dekat mereka. Bukannya minder, malah Petang merasa bahwasanya ialah yang paling cantik di sini, ya, sebab yang lain adalah laki-laki. Si pemilik rumah—Debia, belum selesai menata dirinya. Entah, Petang tidak tahu lebih lanjut lagi. Atau lebih tepatnya adalah tidak peduli.

"Saya mencium bau-bau sesuatu yang naas akan terjadi setelah kita pulang nanti." Rendy mengendus-endus. "Nak Jofan akan enyah dari bumi sepertinya."

"Ya kali renyah, lo pikir gue mau digoreng pake tepung sajiku sampe renyah macam gitu."

Plak!

"Enyah, Fan, enyah. Bukan renyah, dodol," hardik Rafka setelah tangannya puas mendarat di dahi temannya yang satu itu.

"Gue bilang juga apa, Fan, riset... riset. Biar suhu bodohnya berkurang. Kalo didiemin gini malah makin merajalela." Devan mengangguk setuju dengan penuturan kekasihnya yang baru bergabung—Debia.

Jofan mencebikan bibirnya, memasang wajah masam, "Cih, Devan, mah, Bia ngomong apa aja pasti diiyain. Dasar bucin akut!"

"Bucin itu cuma soal waktu. Yang sekarang dikatain, besok bisa ngatain. Yang sekarang ngatain, besok bisa dikatain," ujar Rendy yang diberi acungan jempol teman-temannya.

"Emang, ya, sekarang tuh banyak banget temen yang case-nya aja manusia, aslinya mah setan," ujar Jofan sedikit masam. Kedua netranya beralih pada Debia yang baru duduk untuk bergabung dengannya. Sadar akan penampilan gadis itu, Jofan menyeletuk, "Bia putih banget, buset. Dosa aja sampe gak keliatan. Cahaya ilahi pasti minder ngeliatnya."

"Bacot."

Jofan menjulurkan lidahnya hendak membuat Debia kesal dengan tingkahnya. Wajahnya ia buat seperti ekspresi badut yang tiga tahun lalu sempat mengagetkannya di sekolah menengah hingga dirinya jatuh pingsan.

"Udah jelek, gak usah pake dijelek-jelekkin," telak Debia tahu arah niat Jofan.

"Mulutnya jahat banget kayak Fir'aun," dirinya mengelus dada, menatap teman-temannya nanar—meminta pembelaan.

"Mental aman, Fan?" Rafka sengaja menaik-turunkan kedua alisnya.

"Tiada hari tanpa penistaan. Sebenernya gue cape banget gitu ada di lingkungan toxic. Gue pingin banget bisa out, dan nyari lingkungan yang lebih baik lagi. Tapi gue sadar, gue gak baik, gue juga toxic, mana bisa nyatu di lingkungan yang baik. Gak mungkin juga gue hidup dalam pencitraan," curah Jofan berapi-api. Sedangkan yang lain setengah mati menahan tawa melihat tampang Jofan. "Gue juga heran kenapa gue gak bisa sakit hati sama perilaku kalian yang kayak setan. Awal-awal bingung, tapi makin ke sini gue sadar, gue juga setan. Gak tau, ah, pusing gue."

Rendy mendekatkan dirinya pada Rafka, lalu berbisik dengan nada yang teman-temannya masih bisa mendengar, "Kayaknya kena mental beneran dia, Raf."

***

Ayo Cepet Kawin!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang