Part 2

632 53 2
                                    

Dua bulan sudah mereka lewati dalam pernikahan mereka. Pernikahan mereka berjalan dengan baik dan dilewati keduanya pula dengan begitu bahagia.

Memang benar. Kebahagiaan Jennie seolah bertambah ketika akhirnya ia bisa menikah dengan sang pujaan hati. Hari-hari terlewati dengan begitu indahnya. Bahkan mungkin kalian akan berpikir jika Jennie nampak tak waras hanya karena Jennie lebih dulu telah terbangun di pagi, lalu disuguhkan dengan pemandangan wajah tertidur Jimin yang begitu indah baginya. Menyiapkan sarapan bagi Jimin, mengurusi seluruh pakaian untuk ke kantornya, mengantarkan kepergian Jimin di pagi hari, dan menunggu hingga sang suami pulang ke rumah. Hal yang lumrah dilakukan seorang istri untuk melayani suaminya, dan tentu saja Jennie menikmati semua itu.

Di sisi Jimin, ia seolah masih belum mempercayai jika ia akan terikat dengan sebuah pernikahan. Pernikahan bahkan bukan prioritasnya dulu. Namun bersama Jennie, kata selamanya seolah kini menjadi kata paling indah baginya. Apalagi jika ia bisa menghabiskan seluruh waktu dan usianya bersama dengan wanita yang ia cintai, yang kini sudah menjadi istri dan menyandang marga miliknya.

"Hah, aku tak percaya jika akan ada hari dimana aku begitu jauh denganmu."

Baik Jimin dan Jennie menghentikan langkah keduanya, saling berdiri berhadapan setelahnya.

"Aku pasti akan sangat merindukanmu." Ucap Jimin, menarik Jennie mendekat dan memeluk tubuhnya.

Jennie tersenyum mendengar hal itu. Kedua tangannya menangkup wajah Jimin dan memberikan kecupan pada pipinya.

"Aku juga pasti akan merindukanmu. Maaf, karena aku harus pergi. Kita bahkan menunda bulan madu kita kembali."

Jimin nampak menghela nafasnya, sembari satu tangannya menyampirkan helaian rambut yang sempat menutupi kening Jennie.

"Hey, apa maksudmu? Selama ini, aku yang selalu menunda bulan madu kita karena kesibukanku di kantor. Lagipula, aku yang seharusnya minta maaf karena tak bisa menemanimu. Inggris itu bukanlah negara yang dekat, sayang. Aku hanya takut jika ada sesuatu yang terjadi padamu selama aku tak ada di sampingmu."

"Ck, jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja. Justru pikirkan dirimu nanti. Apa kau akan baik-baik saja nanti jika aku pergi, hmm?"

"Ah, ya. Kau benar? Apa aku bisa hidup nanti jika jauh darimu bahkan jika kita dipisahkan oleh jarak satu sentimeter?"

Jennie hanya tertawa kecil, memilih untuk melepaskan pelukannya lebih dulu setelah sebelumnya mengecup bibir Jimin.

"Sudahlah, aku harus pergi sekarang."

"Astaga, kenapa kau harus terburu, hmm? Kau benar-benar ingin jauh dariku?"

"Jimin, jangan mulai kembali."

Jimin mengangkat kedua tangannya ke udara--isyarat jika ia menyerah. "Baiklah, aku kalah."

Dan Jennie pun beranjak pergi, setelah mengatakan jika Jimin harus menjaga dirinya disaat dia pergi. Karena Jennie sangat tahu sekali bagaimana Jimin. Pria itu tak bisa untuk ditinggalkan atau melakukan pekerjaan rumah tangga.

Namun, bisa apa lagi mereka saat ini?

Setelah melambaikan tangan pada sang suami, keberadaan Jennie tak lagi Jimin lihat. Menghela nafasnya dan berbalik untuk pergi pula. Masih belum begitu rela jika harus membiarkan sang istri untuk pergi sendiri.

Lalu atensi pria itu beralih, ketika ponselnya kini berbunyi. Dan mengangkat panggilan itu begitu saja ketika sang ibu mertua menelponnya. Sudah pasti jika beliau menanyakan keberadaan sang putri.

Dan memang benar adanya. Maka Jimin mengatakan semuanya, jika Jennie sudah pergi untuk menghadiri acara pernikahan salah satu temannya yang diadakan di Inggris sana. Lalu pembicaraan mereka berlanjut. Ya, bertanya tentang hal yang umum ditanyakan. Seperti bagaimana kehidupan pernikahan mereka, atau apakah Jimin dan Jennie menjalani pernikahan mereka dengan bahagia.

it hurts ❌ jenminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang