Prolog

1K 86 33
                                    

"Dia, menyebutkan namanya bersamaan dengan turunnya hujan."










Aku berjalan di koridor sekolah. Ada banyak anak-anak seusiaku yang berlari sembari tertawa riang, tak memperdulikan awan mendung yang terlihat begitu murung. Aku hanya menatap mereka tanpa minat ikut bermain. Lagipula aku tak memiliki teman.

Kaki kecil ku terus melangkah menuju kelas, namun pemandangan yang ku lihat terlalu mengejutkan, Bangku milikku tengah di hancurkan oleh mereka. Di tendang, di injak, di banting. Entahlah, apa mereka tak ada kerjaan lain?.

Mereka menertawakanku seakan-akan ini adalah hal lucu. Aku tak ingin menangis di hadapan mereka, aku tidak mau terlihat lemah. Lagipula apa faedahnya menangisi bangku rusak.

"Kenapa anak miskin sepertimu harus sekolah?"

Ucapan itu di lontarkan bersamaan dengan suara guntur yang memekakan telinga. Ah, sepertinya suara guntur lebih indah daripada kalimat tersebut.

Hujan deras menghantam gedung sekolahku. Semua anak-anak masuk kedalam kelas karena mereka tak bisa lagi melanjutkan acara bermain mereka jika hujan seperti ini.

Bell belum juga berbunyi, masih ada satu jam waktu yang harus ku pakai sebaik mungkin. Dengan mencoba tak mengindahkan teman-temanku, aku meraih kembali kursi dan juga meja lalu memperbaiki posisinya.

Indra pendengaranku masih baik untung saja, jadi aku bisa mendengar mereka berbisik dan merencanakan sesuatu untuk menjahili ku. Aku hanya bisa menghembuskan nafas berat. Apa lagi selanjutnya?

Terlalu sibuk dengan pikiranku, aku terkejut saat salah satu dari mereka menarik lenganku dengan kasar keluar kelas. Membawaku tepat berhadapan dengan air laut tawar yang sedari tadi terus berjatuhan. Apa hujan ini akan menjadi senjata mereka untuk membully ku?

Tak berani melawan, aku hanya diam saat mereka mendorongku hingga jatuh ke kubangan air membuat seragam putihku kotor sekarang. Bunda akan memarahiku nanti. Tapi tak apa, aku akan mencucinya sendiri.

Mereka menertawakanku di ikuti anak-anak lainnya. Aku mencoba tegar lalu berdiri, berniat kembali ke kelas walaupun pakaianku basah. Tapi, mereka masih belum puas sepertinya. Aku kembali di dorong hingga jatuh ke tempat yang sama. Bahkan wajahku sudah terkena kotornya lumpur.

Mereka memintaku tetap diam dan jangan kembali masuk ke kelas karena jika aku masuk kelas akan kotor. Semua anak berucap sama, membuatku hanya menurut saja. Lagipula itu memang benar.

Aku duduk di atas kubangan air, memainkan genangan air dengan jari telunjukku. Menyaksikan bagaimana panah hujan menghujam genangan tersebut dengan derasnya.

"Seragammu kotor, jangan duduk disana."

Aku mendongak, melihat seorang bocah laki-laki yang mengulurkan tangannya padaku. Dan dia sama sekali tak memakai payung membuat tubuh yang sedikit lebih kecil dariku itu ikut di serang derasnya hujan.

"Ayo bangun!" bocah itu tersenyum, lalu aku menggapai tangannya. Dia menarikku dan kembali tersenyum.

Tubuh kecilnya mulai melompat-lompat dengan senyuman yang tak kunjung hilang dari wajahnya. Kedua tangannya menggenggam tanganku, sepertinya dia bermaksud mengajakku untuk ikut melompat.

"Ini seru, ayolah!" lompatan itu semakin tinggi, tanpa kusadari ... tubuhku ikut melompat kecil, dan terlihat wajahnya yang semakin berseri. Apa dia senang karena aku ikut melompat?

Dan akhirnya, tubuhku ikut melompat di atas kubangan air, menciptakan cipratan besar. Dia tertawa senang membuatku ingin ikut tertawa karena mendengarnya. Kita terus melompat bahkan berputar-putra.

Genangan air itu bagaikan Trampolin bagi kami. Dan ini ... Sangat menyenangkan.

Semua teman-temanku hanya menatap kami berdua, aku tak tau bagaimana awalnya tapi semua anak-anak akhirnya ikut bermain hujan. Kita berlari kesana-kemari, memainkan air. Kenapa rasanya sangat- sangat menyenangkan? Saat semua orang terlihat bahagia di bawah deras hujan yang tak kunjung reda ini.

Bocah itu, masih setia menggenggam tanganku, kami duduk berdua di ayunan. Aku merasa begitu tenang sekarang. Apalagi saat melihat senyumnya.

"Namamu siapa?"

Aku sedikit membelalak saat dia bertanya padaku. Sebenarnya aku masih ragu untuk membuka suara. Ini sangat sulit. Aku tak pernah berbicara pada anak-anak disini dan sekarangkun aku tak bisa.

"Siapa?" ulangnya.
















"Lee Minho."

Bocah itu tersenyum lalu menarik ku kembali, berlari ke tengah lapang menyusul teman-temanku yang lain. Dia meloncat dengan riang di atas genangan air lalu menendangnya membuat temannya sedikit emosi lalu membalas tendangan air tersebut.

Aku menunduk, melihat bayanganku di atas air yang bergelombang.

"Minho, ayo ikut bermain!" dia menarik tanganku dan menuntunku untuk berpegangan dengan temannya yang lain. Aku terkejut karena ternyata kita semua saling berpegangan membentuk lingkaran. Dan kita mulai berputar, melompat seraya menyanyikan lagu riang yang kemarin ibu guru ajarkan.

Aku ikut bernyanyi karena ternyata ini mengasikkan. Aku menatap dia yang melompat dengan gembira di sampingku.

Ini semua karenanya ... dia yang menghadirkan kegembiraan ini. Aku merasa bahwa dia bagaikan pelangi yang datang di tengah badai hujan.

Siapa dia?











"Siapa namamu?"























"Han Jisung."

Adalah detik dimana hujan semakin turun dengan deras membasahi tubuh kami, air sudah sampai sebatas mata kaki namun kami semua tak kunjung berhenti berputar dan tertawa.

Ini sungguh menyenangkan.





















"Jangan pernah takut dengan akhir yang kelam, semuanya bisa saja berubah. Jangan khawatir! Tuhan itu adil ... setelah menghadirkan kepedihan, dengan hangatnya, Tuhan akan memberi kebahagiaan untuk kita peluk"

-Ruby-











Hei hei heii~ Ruby in de bilding!!
(*´∇`*)

Skip, ga bisa bahasa inggris.

Gimna nih prolognyaa? Sukaa?😂 kalo sula vote dong💕

Ini bakal Slow update hehehe.

See u ≧∇≦

[✔︎] Tentang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang