Jari-jemari lelaki bersurai gelap itu bergerak. Dahinya mengernyit. Netranya terbuka kemudian menyipit menyesuaikan dengan cahaya lampu yang masuk ke mata.
Ah, tempat ini lagi, batinnya
Perban-perban putih masih melilit tubuhnya. Serangan pusing di pagi hari masih menyisakan efek. Tulang-tulangnya terasa remuk, meski sudah lebih baik dari awal ia tersadar. Rasanya ia ingin mengerang kesal, tapi suaranya seakan tak mau keluar dari tenggorokan. Dia tak tau pasti sudah berapa hari berada di tempat ini, tak beranjak dari ranjang sempit berselimutkan katun hijau yang sedang ditempatinya. Terhitung dari sadarnya, kalau ia tidak salah ingat, ia sudah melihat matahari terbit empat kali dari balik tirai tipis jendela. Kamar yang ia tempati saat ini cukup bersih dan terbilang sempit, tak banyak barang di sini. Hanya ada lemari kecil, sebuah meja nakas mini, kursi di pojok ruang, dan ranjang untuk satu orang yang kini ia tempati.
Dia mendengar suara ketukan dari pintu kamar. Perempuan dengan rambut secerah Alamanda yang sama dengan pagi-pagi sebelumnya, masuk membawa nampan berisi nasi, kacang-kacangan, dan semangkuk kecil sup. Teh beraroma rempah dengan uap yang mengepul seperti hari-hari kemarin juga ada di atas nampan. Dapat ia lihat kali ini juga ada sekotak peralatan medis.
Menurut perkiraannya, umur gadis itu sepertinya 18 atau 19 tahun, tak lebih tua darinya. Wajah gadis itu masih secantik dan semanis pagi-pagi sebelumnya. Senyuman ramahnya masih sama seperti saat berkunjung pertama kali ke kamar ini, tetap tersungging meski tidak pernah dihiraukan.
“Pagi ini sinar matahari cerah sekali, langit sebiru morning-glory, dan awan terlihat seputih salju. Bau embun pagi di kebun belakang terasa menyegarkan. Kau harus mencoba keluar setelah kondisimu membaik. Pasti akan menyenangkan mengingat kau terbaring di sini cukup lama,” ucap sang gadis dengan nada ramah khasnya.
Sapaan yang hampir sama dengan pagi-pagi sebelumnya, ujarnya dalam hati.
Kini atensinya seratus persen tertuju pada gadis itu. Bibirnya tetap terkatup rapat sambil pandangannya terus mengamati gerak-gerik si gadis. Gadis itu meletakkan nampan di atas nakas samping ranjang, kemudian berjalan membuka tirai tipis jendela.
Mata tajam Ted-lelaki yang terbaring di atas ranjang kamar sempit itu-kian menatap dalam ke arah sang gadis, mencoba menggali memori tentang siapa gadis itu. Ini agak membuatnya frustasi, Ted benar-benar tak ingat apa-apa saat terbangun! Bahkan hanya sekedar namanya, memorinya melempar informasi jauh-jauh. Seperti impuls yang menghilang sebelum sampai ke otak. Nama yang ia pakai saat ini merupakan pemberian pria yang sering mengganti perbannya.
Gadis itu, rasanya dia sangat familiar dengan senyum manis dan mata seteduh hutannya, tapi sekeras apapun ia berusaha mengingat, Ted tetap tak mendapatkan klu apa-apa. Rasanya dia ingin sekali bertanya siapa gadis itu sebenernya, apa yang sudah terjadi, mengapa dia tak bisa ingat apapun. Sialnya, suaranya menghilang di pangkal tenggorokan ketika hendak berbicara.
“Mm… Aku akan mengganti perbanmu. Marco, laki-laki berambut hazel yang biasa mengganti perbanmu itu, meminta tolong padaku untuk menggantikan pekerjaannya. Ya, ia tahu aku kemari setiap pagi mengantar makanan. Ku harap kau tak keberatan,” ujar sang gadis dengan nada pengharapan yang kentara. Gadis itu pasti berpikir bahwa ia tak nyaman saat bersama dengannya.
“ Kau tau… kita belum berkenalan dengan baik. Jadi, ya, aku Marianne, dan kau… Ted? Benarkan?” Ted, benar itu adalah namanya, nama yang ia ketahui dari Marco, lelaki yang beberapa kali membantunya mengganti perban. Meski tak merasa memiliki nama di awal terbangun, sepertinya kini ia mulai terbiasa dengan nama itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please Remember
RomantizmSeberapa keras pun dia memerintahkan otaknya untuk menggali memori tentang sang gadis, tak satu pun dapat diaksesnya dalam otak. Tapi rasanya, mata zamrud dan senyum manis itu bukan pertama kali dilihatnya. Familiar dan nyaman, mungkin itulah alasan...