2. Viridian

180 19 31
                                    

Novel itu terdiri dari 218 halaman. Dan meminta seorang kakak yang sama sekali tidak memperdulikannya, adalah sebuah kebodohan. Celle merengut saat sang kakak justru membelakanginya sambil menarik selimut lain yang dibawanya sampai ke kepala.

"Kak!" teriaknya kesal.

"Inikah arti dari wajah antusiasmu saat mama bilang aku harus tidur bersamamu?" Itu kalimat yang rumit untuk otak bocah berumur delapan tahun.

Abra mendengus lalu menyamankan diri untuk terlelap. Sulit untuknya memiliki seorang adik kutu buku, selain dituntut untuk membelikan komik horor seribuan di sekolahnya, dia juga sering kehilangan buku pelajarannya. Celle adalah tersangka kedua sementara lautan baju dan kolong ranjang menempati urutan pertama. Setelah bahan bacaannya habis, adiknya itu menatap buku pelajaran miliknya seperti seorang vampir melihat lautan darah. Kalau kata mama, 'pecicilan'.

"Aku, kan, cuma pengen deket sama, kakak." Celle makin merengut. Kakak yang dia punya sangat berbeda dengan kakak tetangga yang sangat ramah dan perhatian. Kakak yang ini sangat mengesalkan dan selalu ogah menuruti keinginannya.

"Kita udah deket." Abra berkata cuek.

"Deket di mata, jauh di hati," gumamnya sebal. Sayang sekali otaknya lebih memilih kalimat semacam itu untuk disimpan di kepala.

Dia melompat dari ranjang, lalu meraih satu-satunya novel dari rak buku. Itu novel pertama yang dibelikan sang ayah. Dia perlu menemukan inti dari cerita itu untuk dia ceritakan kembali ke ayahnya agar ayahnya mau membelikannya buku lagi. Biasanya dia bisa menemukan inti cerita tak lama setelah dia dibelikan buku itu. Tapi lain untuk buku tebal ini.

Dia sudah membacanya berulang-ulang tapi tak kunjung menemukannya. Ya, semakin tebal bukunya, semakin banyak isinya. Makin sulit juga menentukan mana intinya. Itu membuatnya frustasi, dia ingin buku baru!

Dan itu tidak akan bisa dia capai kalau dia tidak menyelesaikan buku itu.

Dia ingin mencoba metode baru, yaitu dengan mendengarkan. Dia ingin kakaknya membacakan novel itu. Siapa tahu dia bisa menemukannya. Tapi kakaknya benar-benar tipe manusia yang tidak bisa diajak kerja sama.

Dia mendaratkan bokong di ranjang dengan sewot setelah menyingkirkan boneka di kepala ranjang untuk dia lempar ke kakaknya yang sedang dalam perjalanan ke alam mimpi. Jemari kecilnya lantas mengangkat tinggi-tinggi buku itu, menatap jalinan huruf yang tertulis di covernya.

"Viridan!" bacanya lantang, dengan sengaja mendekatkan mulut ke kuping Abra. Dia tak perlu takut kalau-kalau mamanya mendengarnya, kamar itu kedap suara.

Langsung saja dia menuai protes, "Jangan menggangguku!"

"Bab satu!" Dia kembali membaca dengan keras. "Mengasihi tetangga."

"Celle!"

"Matahari menggantung tepat di atas kepala saat kamu keluar dari rumah. Padang rumput nan luas menyapamu kala itu. Berdampingan dengan ladang gandum, mereka berpadu!"

"Cellery Lore!"

Dia tahu kakaknya benar-benar marah sampai rela meluangkan waktu untuk mengeja nama lengkapnya. Tapi dia tidak berhenti melafalkan sesuatu yang tertulis di lembar pertama itu.

"Di ujung jalan setapak yang mulai tak tampak, sebuah rumah kecil berdiri. Itu terlihat kecil karena jauh. Kamu meraih layangan dan benangnya untuk berlarian di sana membuatnya melayang di langit dengan mudah karena terhembus angin. Saat benang itu habis terbentang dan hanya menyisakan simpul mati yang melilit di batang kayu yang kamu pegang, kamu telah sampai di rumah kecil itu."

Celle mati-matian menghindar saat kakaknya mencoba menarik buku itu darinya.

"Anjing kecil menggonggong menyambutmu, sementara seorang kakek tua duduk di kursi goyangnya di pelataran rumah. Takut tubuh kurusmu ikut melayang terbawa layangan, kamu menancapkan kayu itu ke tanah lalu duduk di undakan tangga yang ada diantara pelataran rumah dan tanah yang gersang oleh kemarau."

Abra melemparkan boneka-boneka untuk mengganggu acara membaca Celle, tapi itu tetap tak menghentikannya.

"Kamu mendapatkan tempat berteduh, dan kakek mendapatkan obrolannya. Kamu berkata, 'hari ini sangat panas.' Kakek itu menjawab, 'tidak sepanas teh yang baru kubuat.' Kalian bertukar lelucon, yang hanya kalian berdua yang tahu."

Itu adalah novel terjemahan yang sulit dimengerti. Apalagi untuk bocah seumuran Celle. Ditambah latar dan nuansa yang ada di dalamnya, Celle sama sekali tidak akrab dengan itu. Gagak yang bisa bicara, manusia lidi yang kurusnya bukan main, rumah jahe yang sekecil telapak tangan, dan peri bersayap indah. Dia masih asing dengan semua itu

Dia terbiasa dijejali dongeng setempat atau cerita daerah dengan kearifan lokalnya, saat mendadak dicekoki fantasi macam itu, membuatnya agak mual. Dia bahkan mulai menyerah mencari isi cerita itu dan berusaha merayu mama untuk membelikannya buku. Tapi itu semua tidak berhasil.

Lalu, malam ini, dengan sisa-sisa semangatnya, dia ingin membacanya lagi.

Dan lagi-lagi, semesta tak merestui niatnya.

Abra, kakaknya itu mulai tidak terganggu lagi olehnya. Dan dia pun mulai lelah membaca dengan suara keras. Dia mengantuk. Akhirnya, matanya tertutup. Dia jatuh tertidur dengan memeluk buku itu, berharap menemukan secercah ilham darinya.

 Dia jatuh tertidur dengan memeluk buku itu, berharap menemukan secercah ilham darinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tinggalkan jejak, tolong?
Scan sidik jarimu pada ikon bintang di bawah ini.

Boleh juga menyalurkan kritik dan saranmu di sini (人 •͈ᴗ•͈)


748 words

26/05/21-Projek Hijau

HijauWhere stories live. Discover now