4. Ikatan kekeluargaan

122 13 22
                                    

Dermaga itu cukup panjang menjorok ke tengah danau. Dengan itu, Abra bisa mengira kalau itu cukup dalam untuk menenggelamkannya. Tapi, astaga, itu adiknya! Walaupun Celle menyebalkan tingkat dewa, itu bukan alasan yang bagus untuk membiarkannya mati tenggelam. Apalagi di antah-berantah ini.

Abra berlari ke air setelah melepas bajunya, membiarkan badan bagian atasnya diterpa angin sore. Di tepi danau, air cuma sampai semata kakinya, tapi makin jauh, itu makin dalam. Matanya tak lepas dari riak air di antara kayu-kayu yang mengapung. Sesekali dirinya melihat tangan mungil Celle menggapai ke permukaan. Dia makin cepat melangkahkan kaki, tapi siapapun tahu seberapa susahnya berjalan di air. Saat air sudah sebatas dagunya, dia akhirnya memilih untuk berenang berbekal ingatan samar tentang ajaran renang dari ayahnya.

Saat menenggelamkan diri, pandangannya buram untuk beberapa saat, lalu mulai menjadi jelas seiring tubuhnya terbenam seluruhnya. Objek yang pertama kali dia cari, tentu adiknya. Di sana, dia melihat Celle yang tengah berjuang menyembulkan kepala ke permukaan, berharap bisa menarik napas barang sedetik saja.

Abra dengan sedikit kesulitan, mulai mengayunkan tangan dan kaki. Persetan dengan gaya renang apa yang dia pakai, yang penting tubuhnya bisa bergerak mendekat ke Celle.

Semuanya berjalan lancar pada awalnya, tapi ketika persediaan napasnya mulai menipis, dia menjadi panik. Tubuhnya melorot turun, tangannya menggelepar dan dia tanpa sengaja, menelan air.

Dia belum belajar cara mengambil napas saat berenang! Ini buruk.

Apa mereka akan mati di sana? Tanpa ada kesempatan untuk memeluk mama walau cuma sekali?! Lupakan, mereka bahkan tidak akan pernah ditemukan. Tidak ada danau di desanya, apalagi yang seluas ini! Gagasan tentang diculik sekelompok orang lalu dibuang ke hutan tak dikenal, mendadak menjadi masuk akal.

Mimpi buruk sialan ini! rutuk Abra.

Matanya sudah mulai berkunang dan kepalanya pusing. Tapi tangannya tidak bisa berhenti bergerak, itu semacam reflek untuk mencoba mengangkat diri dari air, walau itu percuma, dia bahkan merasakan sesuatu yang tajam menggores lengan kanannya saat dia melakukannya. Sebuah kayu dengan paku berkarat yang mencuatlah yang membuatnya begitu. Dia tidak bisa melihat seberapa parah lukanya, tapi matanya jelas menangkap cairan merah yang mulai larut dengan air. Cukup banyak sampai membuat air jadi keruh.

Apakah dia akan benar-benar mati di sana? Mati tenggelam dan kekurangan darah?!

Tidak! Dia tidak bisa mati begitu saja. Ini pasti benaran cuma mimpi. Dia cuma harus membuka telinga dengan lebar untuk menyambut nyaringnya jam beker, lalu pergi sekolah.

Tapi lukanya terasa sakit, ejanya dalam kepala. Kalau mimpi, pasti nggak bakal sakit!

Dia makin liar menggerakan tangan, tak peduli seberapa banyak lagi tangannya menghantam kayu-kayu. Dia cuma ingin bernapas.

Di tengah kepanikan itu, otaknya yang luar biasa lemot tiba-tiba mendapatkan pencerahan. Lempengan kayu-kayu itu ....

Tangannya meraih kayu terdekat, merengkuhnya dan menumpukan dagu ke permukaannya. Kepalanya cuma timbul beberapa saat karena kayu itu mulai ikut tenggelam, tidak sanggup menerima beban tubuhnya. Untungnya dia sempat menarik napas. Dia melepas kayu itu, membiarkannya mengapung lagi, kemudian kembali memeluknya. Dia melakukannya beberapa kali, sampai dia mulai tenang, tidak sepanik tadi.

Setelahnya, dia mulai berenang lagi ke arah Celle. Tidak secepat sebelumnya karena tenaganya sudah lumayan habis, tapi tidak terlalu lambat juga. Sesekali tangannya menyentuh kayu-kayu, sekedar memberi rasa aman dan yakin kalau dia tidak akan tenggelam.

Dia tidak ingin berlama-lama bermain air, jadi dia lantas menarik tubuh Celle dan menyeretnya menuju tepi. Cukup sulit melakukannya saat dia sendiri sudah selemas itu. Dia pun tak terlalu ambil pusing sewaktu Celle memanjati tubuhnya dan memeluk lehernya dengan erat dalam posisi gendong.

HijauWhere stories live. Discover now