5. Monster Kayang vs Ngesot

101 8 61
                                    

Kegelapan selalu menjadi sesuatu yang misterius bagi sebagian orang. Entah kegelapan itu sendiri atau sesuatu yang bersembunyi di sana, sama menakutkannya.

Dan kini, dua anak kecil yang selalu terlindung dalam bangunan hangat bernama rumah, didorong paksa mengadapi gelap dan kelamnya hutan. Mereka basah kuyup, menggigil dan berdarah-darah, berdiri goyah di atas hamparan pasir. Dibandingkan dengan luasnya danau di belakang mereka, mereka terlihat kecil, mungil, dan amat tersingkir

Perlahan, dengan langkah pendek dan waspada, mereka memasuki hutan. Tangan mereka bertautan, seakan memberitahu dunia kalau mereka tak terpisahkan, bahkan kegelapan tak akan bisa menceraikan mereka. Tapi yang mereka rasakan sangat bertentangan dengan itu. Abra sambil mengeratkan genggamannya, terus menengok gelisah ke penjuru hutan, memastikan tidak ada bahaya yang bisa merenggut adiknya kapan saja.

"Jangan pergi kemana-mana lagi," ingatnya pada Celle. Adiknya cuma mengangguk sambil merapatkan tubuhnya.

Siur angin mengisi keheningan, mengakibatkan gemerisik pelan pada dedaunan. Cahaya redup dari bulan sedikit-sedikit berhasil menembus lebatnya hutan, menyinari jalan setapak yang penuh lumpur. Tapi tetap saja, pohon-pohon yang tak tersinari terlihat seperti monster tinggi dan gelap yang mengintip setiap langkah mereka. Sesuatu yang kecil, bersinar dan melayang-layang melengkapinya sebagai mata yang setia mengintai mangsa.

"Kak ..." bisik Celle. "Gimana kalo kita ketemu sama beruang lapar atau singa-"

"Singa tidak hidup di hutan!" seloroh Abra memotong bualan Celle. Dia berkali-kali mengusap keringat dingin yang mengaliri lehernya. Kepalanya tidak berhenti menengok mengamati betapa tenangnya tempat ini.

"Di kartun Ara dan Aris begitu-"

"Kau kebanyakan nonton kartun!" Abra kembali memotong.

"Apa boleh buat. Aku ndak dibolehin nonton sinetron yang pocongnya suka gelindingan dan masuk ke mesin molen sama mama." Celle sedikit mengendurkan genggamannya di lengan Abra saat melompat melintasi kubangan lumur yang lumayan besar. Sementara Abra mengoceh tentang dampak buruk menonton sinetron lebai yang akhir-akhir ini gencar sekali tayang di televisi bagi anak-anak, Celle menajamkan mata agar bisa membedakan permukaan tanah berkerikil dengan yang berlumpur. Dia sudah tiga kali terjerembab gara-gara kakinya salah pijak. Baju bersih dan kering yang kakaknya pinjamkan, kini hampir seluruhnya tertutupi noda coklat basah yang lengket dan menjijikan.

Mereka berjingkat-jingkat. Jalanan makin lama makin becek. Mengaburkan batas antara jalan dan rerumputan yang terlihat samar memenuhi tepian sementara pohon makin lebat dan menghalangi sinar bulan. Malam makin larut dan kini sesuatu yang samar mulai terdengar di sepenjuru hutan. Gumaman, geraman dan kicauan, mengganggu benak Abra tentang sesuatu yang akan datang.

Satu hal yang terlintas di benaknya saat ini. Mereka harus kembali ke titik saat mereka bangun. Walau dia tidak tahu kapan dan bagaimana mereka bisa sampai di sana, tapi setidaknya mereka masih utuh dan sehat walafiat saat bangun di pagi hari. Tidak diganggu hewan buas atau hal-hal menakutkan lain yang biasanya ada di hutan. Masalahnya, dia ragu mereka bisa sampai di sana sebelum monster atau teror hantu muncul dengan mengejutkan seperti yang Celle ocehkan sedari tadi.

Bocah itu pandai sekali merangkai skenario kemunculan hal-hal macam itu. Mulai dari senandung pelan serupa kidung yang mengalun, kemudian berubah jadi kikikan dan tangisan, lalu perempuan berdaster putih dengan rambut panjang muncul sambil melayang. Atau monster yang bisa saja muncul dari kegelapan sambil kayang dengan kepala yang berputar-putar disertai derak tulang mengerikan.

"Mainstream sekali, Celle," komentar Abra. "Dan berhentilah menakut-nakuti dengan hantu yang kau tahu dari komik seribuan!"

"Buku itu jembatan ilmu, tauk!" debat Celle. Dia memberengut kesal.

HijauWhere stories live. Discover now