8. Buku itu

61 6 14
                                    

Celle mendapat buku novel pertamanya di ulang tahunnya yang ke tujuh, tidak tepat di hari ulang tahunnya sih, agak terlambat tiga bulan. Ayahnya yang memberikannya sepulang dari kunjungan ke luar desa. Itu buku yang tebal dibandingkan dengan komik dan cerpen yang dia punya. Celle menghabiskan waktu hampir sebulan penuh untuk menyelesaikannya. Ayahnya bilang, itu buku yang bagus. Tapi bagi Celle, bukunya memusingkan dengan gaya bahasa yang sulit dimengerti.

Bukunya bercerita mengenai keluarga petani yang miskin dan terlilit hutang pajak kerajaan. Mereka diberi waktu enam bulan untuk melunasi pajak yang menumpuk, tapi ladang yang terserang hama tidak membantu mereka sama sekali. Saat waktu yang ditentukan datang, orang-orang dari kantor pajak datang, mengumumkan pinalti yang sama sekali tidak sepadan. Keluarga mereka diharuskan mengabdikan hidup pada kerjaaan. Cerita yang menyedihkan.

Celle tidak tahu apa yang ayahnya pikirkan sampai memberikannya buku macam itu. Dan seperti yang sudah-sudah, ayahnya juga menuntutnya memukan inti cerita dan pesan moral yang ada di dalamnya atau tidak akan ada buku selanjutnya. Celle cukup stress masalah itu, hari-harinya dia habiskan buat membaca dan membaca. Dia menenteng buku itu kemanapun, bahkan saat tidur. Dan entah masuk akal atau tidak, tahu-tahu dia masuk ke dalam buku itu, tahu-tahu dia ada di jalan setapak penuh pohon, bergandengan dengan kakak tinggi berjubah hijau kebiruan yang menggendong semacam ukulele. Dia berjalan, menapak ke tanah padat dengan debu yang berterbangan di setiap langkahnya.

Di belakang, bocah cowok keriting berbintik ikut berjalan sambil memainkan seruling. Di belakangnya lagi, kumpulan rumah berdiri yang mana di salah satunya terdapat kakaknya Abra yang masih tertidur nyengak. Burung-burung berkicau di antara pepohonan, menyambut nyanyian seruling yang melengking indah. Di depan mereka, gerombolan orang berjalan seiringan. Ada gerobak juga, ditarik oleh kuda coklat berbuntut panjang. Bunyi kerusuk-kerusuk dari daun gugur yang dia pijak, suara menenangkan kakak tingginya, sejuknya udara pagi yang mengisi paru-parunya, dan masih banyak lagi.

Semuanya benar-benar terasa nyata, dia benar-benar masuk ke buku itu.

Celle tidak bisa tidak tersenyum saat merangkum suasana di sekitarnya.

Celle tidak bisa tidak tersenyum saat merangkum suasana di sekitarnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tempat potong rambut yang Rawala sebutkan ada di ujung pasar. Tepat di sudut belokan menuju jembatan penghubung ke desa seberang; berjendelakan kaca, sebagian berdinding bata, sebagian lagi kayu. Atapnya biasa saja, kerucut tunggal, pintunya berdentang saat dibuka dan seorang perempuan berkepang muncul dengan apron biru tua yang apik. Penyambutan yang baik, batin Celle.

Tempatnya tidak terlalu luas, sedikit lebih luas dari kamar Celle di dunia nyata. Di samping pintu sebuah meja berdiri, di atasnya terdapat segelas kopi hitam dan sepiring kukis, menjawab pertanyaan mengapa bau manis dan sedap berterbangan di tempat ini.

Sementara Rawala menyapa seseorang yang duduk di balik meja itu, Celle dituntun menuju sudut ruangan di mana meja panjang diletakan mepet ke dinding. Banyak benda berserakan di atasnya; gunting, gegucian, beragam sukulen berpot kecil imut, dan koran tulis yang terlipat asal-asalan. Kursi-kursi dibariskan mengadap meja, salah satunya berpenghuni, adalah seorang perempuan raksasa yang rambutnya tengah ditata oleh perempuan berkepang lain. Celle meringis melihat bagaimana lemak dan otot tubuh wanita tersebut menekan kursi, Celle turut berduka untuknya-kursinya. Saat perempuan itu melirik Celle dari cermin, wajahnya yang lebar menampilkan senyum tak kalah lebar dengan gigi-gigi perak yang terlihat berkilauan. Celle membalas dengan senyum canggung lalu melarikan diri kesudut lain.

HijauWhere stories live. Discover now