9. Jangan Marah

57 5 14
                                    

Abra sedang meringkuk di dipan kamar saat mereka sampai di rumah. Tak jauh darinya tergeletak nampan berisi mangkuk dan gelas kosong. Saus kari dan roti yang disiapkan Rawala sebelum pergi ke pasar sudah raib, masuk ke perut Abra yang masih mencoba menggulung badannya seperti tenggiling. Celle melompat turun dari gendongan Rawala.

"Kak," panggilnya sambil menggebuk bokong Abra. "Kak Abra masih hidup, 'kan?"

Kepala Abra terangkat, sebelum melihat Celle, mata Abra lebih dulu mampir ke sosok Rawala. Dalam satu detik, badannya terlonjak, detik berikutnya dia terduduk, meraup Celle ke pelukannya dan memekik, "Siapa kau?!"

Terlunjuknya diarahkan ke Rawala. Dengan mata melotot waspada, dia beringsut menjauh dari lelaki itu sambil menyeret Celle, sempat menabrak nampan dan membuat mangkuk-mangkuk di atasnya gelindingan di dipan. Tapi tidak perduli pada mangkuk itu, pun pada adiknya itu merengek-rengek minta dilepaskan.

Rawala sendiri menepuk wajah dengan putus asa. Ini lebih buruk dari lupa arah jalan ke pasar, Abra bahkan melupakannya. Sambil menimbang keputusan yang bakal dia ambil, dia mendudukan diri ke dipan. Seakan Rawala adalah manusia terjangkit virus yang tidak boleh didekati, Abra menarik diri makin jauh. Dia hampir turun dari ranjang untuk lari ke pintu, tapi Celle bersama dengan gigitan mautnya membuatnya memekik kesakitan dan refleks melepas pelukannya. Di lengan kanannya, bekas gigitan terlihat begitu ketara, bukti sejauh mana gigi Celle menekan kulitnya. Parahnya lagi, Celle menggigit tepat di luka goresnya yang bahkan belum 24 jam ada di sana.

Sekeras apapun Abra berteriak untuk melukiskan sakit yang dia rasakan, raungan Celle bahkan lebih keras lagi. Sementara Abra bergetar memelototi cairan merah yang mulai merembes di kain pembalut yang sudah kendur sana sini, Celle menangisi pita rambutnya. Seperti biasa yang sering mereka lakukan, terlepas dari semua yang telah terjadi terjadi sejak kemarin malam, semua itu cuma akan berakhir dengan pertengkaran.

"Pitaku berantakan, Kak Abra!"
"Kau menggigitku!"
"Kak Abra nyebelin, sih"
"Tanganku berdarah!"
"Pitaku kusut!"
"Celle!"
"Kak Abra!"
"Kuadukan ke mama, nih!"
"Kakak kuadukan ke ayah!"

Level kemarahan Abra sudah mencapai batas, diabaikannya tangannya yang berdenyut nyeri, dia mencoba mengejar Celle yang sedang merangkak di ranjang, menjauhinya untuk mencari perlindungan dari Rawala (yang omong-omong masih bengong campur frustrasi). Dia baru tersadar saat Celle berteriak keras, belakang bajunya berhasil diraih Abra.

"Kak Ala! Tolongin Celle!"

Wajah adik-adiknya itu memerah penuh peluh dan ingus. Mereka berteriak, saling mencoba meraih rambut yang lain untuk ditarik dan diacak-acak. Secepat kilat, dia memisahkan keduanya. Dilepasnya cengkraman Abra ke gaun Celle, dia menyembunyikan adik kecilnya di belakangnya sementara tangannya meraih kuping Abra dengan sedikit tarikan dan pelintiran yang mungkin menyakitkan.

Abra berteriak lagi. Sebagian berisi kelimat ngotot meminta dilepakan, sebagian lagi menantang Celle untuk adu jambak. Celle mengintip lewat pinggang Rawala, meringis melihat kakaknya berubah menjadi singa pemarah lagi. Ringikan takut dia suarakan sembari mengusap ingusnya ke baju Rawala.

"Kau sudah sebelas ... hampir dua belas tahun, Abra. Tidak boleh bertengkar terus dengan adikmu." Rawala mengatakan itu dengan lembut, tapi jawaban yang dia dapatkan lebih kasar dari apa yang dia kira bakal diucapkan anak sebelas tahun.

"Memang anak dua belas tahun tidak boleh marah?!" Abra menyentak tangan Rawala dengan kencang, walau telinganya tertarik lebih keras beberapa saat, tapi dia akhirnya bisa terlepas dari jeweran menyakitkan itu. Itu bukan apa-apa baginya, jeweran mama lebih sakit dari itu, dan dia sudah biasa mendapatkannya dengan membuat Celle menangis. Dia mendongak menatap Rawala. "Lagian kau siapa?!"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 17, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HijauWhere stories live. Discover now