Pagi datang lebih cepat dibanding dengan yang diduga orang-orang yang tertidur lelap, tapi bagi Celle itu sangat lama sampai-sampai kalau diberi tiga buku novel setebal kamus bahasa inggris punya kakak, dia yakin bakal menyelesaikannya bahkan sebelum matahari muncul. Sementara dia terkantuk-kantuk, cahaya matahari sudah memenuhi ruangan, memperlihatkan kantung matanya dan wajah pucat Abra. Pagi itu ramai sekali, anak-anak sedang berlarian di sepanjang desa saat Celle melongokkan kepala ke jendela kamar, sementara orang yang lebih dewasa, menyandang keranjang di punggung mereka dan mulai melangkah menuju selatan, arah ke pasar yang sedari tadi diocehkan Boni. Hasil panen tahun ini menurun, katanya, jadi mereka perlu mencari herbal untuk dijual ke pasar alih-alih gandum dan beras.
Celle tidak terlalu mendengarkan, dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Dia sudah seperti itu sejak semalam, sejak Boni menyebutkan sebuah nama yang membuatnya membeku bagai tersapu badai salju. Kepalanya dia letakan ke kosen jendela, wajahnya kuyu, tapi sesuatu yang bersinar nampak di matanya. Dia sudah menghabiskan waktu lama untuk berpikir, dan merenung. Kalau perkiraannya benar ....
"Ini bakal menyenangkan!" serunya tiba-tiba.
Tak jauh darinya, decakan malas terdengar. "Kau kenapa, sih? Pagi-pagi teriak-teriak tidak jelas."
"Ini bakal menyenang—"
"Tidak, Celle! Jangan berani-beraninya berpikir untuk main-main lagi ke hutan itu!"
"Hutan apa? Kau, tuh, yang ndak jelas."
"Kalau kau hilang lagi di sana, aku bersumpah tidak akan mencarimu lagi."
"Lihat! Kau yang melantur." Celle mengerutkan alis, tapi segera lurus kembali saat kembali teringat dengan perkiraannya. "Udah, ah, aku harus bangunin kakak."
Sembari menarik diri dari jendela, Celle menengok Abra yang masih terlelap. Celle tidak tahu kakaknya itu memang pingsan atau sekadar tidur dan malas bangun seperti biasanya. Dia menghampirinya lalu mengambil kain coklat usang yang semalam kakak tinggi gunakan untuk mengompres kakaknya itu dari dahinya. Suhunya sudah turun dan wajahnya juga sudah tidak mengkerut-kerut tidak keruan seperti semalam. Celle mendudukan diri di samping Abra, iseng menusuk-nusuk pipi Abra, lalu kembali terdiam. Sama sekali tidak punya ide tentang cara membangunkannya.
Tidak akan jadi menyenangkan kalau Abra masih terkulai seperti tulang lunak yang malas di sana. Jadi Abra harus bangun! Setidaknya itu yang Celle pikirkan.
Sudah sangat lama sejak mereka sekamar dan tidur bersama tanpa berujung dengan tragedi lempar bantal atau jambak-jambakkan. Dan kalau sudah seperti itu, mereka akhirnya kembali tidur terpisah sampai Celle lupa bagaimana tampang Abra kalau tidur saat pagi, juga cara membangunkan singa pemarah—Celle memberikan julukan itu karena Abra suka marah-marah—ini tanpa membuat dirinya tergigit. Biasanya Abra bangun tak lama setelah mama masuk ke kamarnya untuk mematikan jam beker yang tidak berhasil membangunkan kakaknya itu. Tapi dia bukan mama, mungkin dia bakal kena sembur lagi kalau dia nekat membangunkannya.
Tapi tetap saja dia perlu Abra bangun, dia tidak mau sendirian.
Dia merengut, tangannya yang masih bermain-main di pipi Abra berganti memberikan cubitan-cubitan kesal.
"Kakak ndak setia kawan banget, masa aku ditinggal sendirian." Bibirnya makin melengkung ke bawah. Ditangkupnya pipi Abra lalu dia tekan sampai bibir kering dan pucatnya mengkerut. "Kuaduin ke Ayah nanti!"
Melihat Abra bersantai dengan tenangnya, Celle makin gondok, maka dia mengalihkan pandangan ke sudut lain ruangan. Tepatnya ke tikar yang masih tergelar rapi di tanah. Tapi dia tidak mendapati anak keriting yang sebelumnya rebahan sambil mengocehkan pekerjaannya di pasar sana.
YOU ARE READING
Hijau
AdventureDi suatu malam yang berangin dengan rintik hujan yang tak berhenti menghantam atap rumah, Celle kedatangan tamu di kamarnya. Sang kakak yang mengesalkan dan hobi mengurung diri di kamarnya, akhirnya berhasil ditendang keluar dari sana. Atap kamarnya...